Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Nge-Writing

Social Entrepreneur : The one that Indonesia needs

It was a beautiful sunny day; I went to an English Speaking Club at The English House Medan to join a discussion about social entrepreneur. This time the speaker was Mr.Panut Hadisiwoyo, the founder of Orangutan Information Center (OIC), a non-profit organisation (NGO) which works on saving orangutan in Indonesia. Actually, I have ever met him before at Siti Hajar School; at that time our school also joined the activities provided by OIC; the students and teachers-including me-went together to observe and learn about forest restoration in the middle of Besitang forest. Yet, he also remembered about me and we have a little discussion before the talk began. picture source:   Start-Up Hyderabad The talk is about social entrepreneur, a topic that I never knew before, which is defined as someone who offers new innovation and ideas for the benefit of many people. Mr. Panut said that his idea to become social entrepreneur came up when he went to Canada where he could see that the coun

Cerpen-Cerpen dalam Bingkai Heksaviolet Blog

Heksaviolet Blog Berikut ini adalah judul-judul cerpen yang sudah kuposting di Heksaviolet Blog, semoga masih enak dibaca. Untuk membaca, silahkan klik judulnya ya, monggo mampir, :) 1. Sekotak Coklat , cerpen pertama yang selesai kutulis tahun 2009, bersama dengan Vika, kami bersemangat menulis cerpen untuk pertama kalinya dan saling membaca cerpen masing-masing. 2. Sepeda Tua , cerpen kedua yang juga ditulis pada tahun 2009, cerpen ini berhasil menang sebagai juara pertama dalam sayembara menulis cerpen yang diselenggarakan KOPISUSU tahun 2009. 3. Kantong Plastik Mbok Jamu , terinspirasi dari cerita tukang jamu langganan. 4. Kado Terindah , sebuah cerita remaja. 5. Pada Sebuah Kamar Pucat . 6. Puisi-Puisi , puisi dalam cerpen. 7. Hujan di Mesjid Raya . Jika diamati gaya bahasa masing-masing cerpen, memang berbeda-beda karena semua cerpen ini kutulis sebagai latihan menulis sebuah cerita yang terinspirasi dari kehidupan sehari-hari. 

Peraduan Rembulan

Oleh: Siti Utari Rahayu Sekeping hari telah pecah pada suatu pagi yang cerah. Sinar matahari menyeruak masuk melalui celah-celah langit. Seorang gadis berpakaian kemeja putih ketat-rok pendek berbahan jeans telah bersiap untuk menyambut hari. Pandangannya menyala ke depan seakan-akan hendak menaklukkan dunia. Ditangannya tergenggam sebuah map merah. Sedang sepasang sepatu biru tua telah terpasang di kakinya.             “Bu! Maya pergi dulu, ya!” Teriak gadis itu dari teras rumahnya.             Seorang wanita tua tampak datang tergopoh-gopoh menuju teras. Sebuah handuk kecil tergantung di bahunya yang padat.             “Jadi kamu mengantarkan lamaran beasiswa itu? Sudah yakin?” Tanya wanita tua itu yang tak lain adalah ibu Maya.             “Tentu saja, Bu. Doakan Maya ya, Bu!” Katanya sambil kembali merapikan pakaiannya.             Ibu Maya mengangguk, tetapi Maya tak melihat anggukan ketulusan ibunya itu karena dia telah berjalan keluar.             Selepasnya

Selasar Merah

Oleh: Siti Utari Rahayu              “Apa yang hendak Mas bicarakan?” Tanyaku pada Mas Tanu, suamiku, sesaat setelah kami duduk di teras rumah.             Dia memandangiku dengan tatapan lembut, tatapan yang sangat kukenali. Lalu pandangannya dialihkan ke depan, memandangi langit di kejauhan. “Lihatlah sinar mentari itu, pancarannya menerangi kita,” katanya lagi seakan hendak mengalihkan pembicaraan.             Aku tersenyum saja. “Ya, dia bagai lampu panggung yang menyorot dua pemain drama utama,” kataku sambil menatapnya.             Dia mengalihkan sorot matanya kepadaku, beberapa menit kami saling bertemu pandang, mengalirkan rasa yang telah kupendam berbulan-bulan. Lalu dia tersenyum dan menundukkan kepalanya. Aku terus memandanginya sambil tertawa renyah.             “Mengapakah orang tuamu membangun rumah menghadap ke barat? Ke arah matahari tenggelam,” Tanyanya kemudian.             “Aku tak tahu pasti, Mas. Mungkin agar dapat menikmati matahari tenggelam

PERJALANAN

Oleh: Siti Utari Rahayu             Sudah 15 menit aku menunggu kendaraan umum yang dapat kutumpangi untuk sampai ke Medan. Namun belum ada satu pun kendaraan seperti itu yang lewat, hanya truk-truk besar melintas dengan kecepatan sedang, hari memang masih pagi, udara masih segar. Sekali-kali aku menoleh ke belakang, melihat rumahku yang tampak semakin tua, mungkin telah 30 tahun lebih berdiri di tanah Tebing Tinggi ini. Pasti sekarang ibuku sedang memasak makanan yang akan diantarnya untuk ayah di ladang. Aku kembali berpaling ke jalanan, bagaimanapun aku tak mau mengingat lebih dalam tentang kedua orang tuaku, rasanya hal itu hanya akan membuatku tersiksa, tersiksa karena cintaku pada mereka.             Dua bulan lalu aku memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit umum di kota Medan karena aku sering sakit kepala. Dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa ternyata selama ini aku menderita tumor otak. Mungkin hidupku tak akan lama lagi. Aku masih merahasiakan h

Aku dan Kamu Sama

Aku dan kamu sama; Menunggu siang yang penuh peluh; untuk menggapai istirahat hangat; pada malam-malam dingin. Namun, aku dan kamu sama; mengetahui bahwa malam-malam itu pendek; dan pagi pasti menjemput; kita sama-sama terbangun dalam dekapan janji; detik-detik waktu yang bergerak perlahan; penuh misteri; Aku dan kamu sama; merasai perihnya lesatan cahaya; dan berharap malam datang; sekedar menegak istirahat pendek. Aku dan kamu sama; Merasai letinya berpeluh dalam menjalin tali-tali harapan. Namun, aku harap kamu juga sama; mencoba menjalankan jiwa tuk meneguk piala; yang berisi cairan seumpama air kafur yang menetes; Dan kita sama-sama meneguknya.                                                                                                                     Medan, 2013                                                                                                                                                                                                

Setitik

Bagai titik air yang memberati hingga hujan turun tak terperi Disana terlihat seufuk mentari diiringi gemericik dan serpihan awan ada pula sepucuk daun rasa-rasanya palu menghantami diri seberkas kelopak melati hilanglah buang diri tiada berarti hanya lalat menempel di kebusukan semuanya adalah dari si pemilik yang perlu hanyalah kembali hingga tak perlu hirau lain-lain yang ada nanti hanyalah sebarisan awan putih di kebiruan yang membening                                              Medan, 2012

Rasanya Asa

Semburat-semburat putih yang disana pula ada asa dirangkulkan serasa dekat tak keruan udara-udara hitam menghimpiti dalam lamunan berkicauan Ah, mengapakah hati ini? apa yang salah dengan semua jalan? hanya hati merasai salah saja tak pantas rasanya. Oh, bibir tak pantas bergetar tapi, asa itu tetap ada hingga hilang semua rasa mungkin baru berketeraturan                                          Medan, 2012

Kereta Tua

Di atas kereta tua yang berderu-deru diterjang waktu aku menanti disana di bangku tua penuh sobekan sambil memandang luaran yang penuh semu. Aku menanti juga segala ruang yang nyatanya penuh sesak hingga waktu melesat-lesat saja melewatinya di atas kereta tua yang penuh jerit tanda tanya Rasa-rasanya ingin kupecahkan jendela itu  jendela si kereta tua lalu, dapat pula kuberlari menjauhi penantian yang nyatanya  hanya mengoyak-ngoyak ruang kebeningan yang jauh-jauh hari telah dipenuhi basahnya syukur. Namun, bagaimana jika kereta ini nyatanya mempunyai sejuta kembaran  hingga hati yang mengemis-ngemis terbunuh sudah                                                                      Medan, 2012

Bukan Kali Pertama

Ini bukan kali pertama terinjak pucuk daun yang tadi pagi terpetik angin sang pucuk yang hendak meranjak naik Bukan pula kali pertama daun yang berguguran terinjak-injak sang daun yang rela ditiadakan tiadanya dia adalah awal kesuburan Sungguh ini bukan kali pertama!! yang kali pertama adalah ketidaktahuan akan manfaat sang daun ketidakmahutahuan akan segenap rasa sang daun Sungguh, ini bukan kali pertama!!                                         Medan, November 2014

Suatu Pagi

Hujan turun, genderangnya membasahi; tiap-tiap serpihan hitam menebarkan aroma-aroma yang meresap bersama rumput yang basah dan insekta bergeliat; Dia datang seumpama aroma rezeki; yang kadang dihujani pula rasa-rasa mencaci.  Langit kelabu, dihiasi pucuk-pucuk tua; yang enggan bergerak dan hanya bergemulai; Nanti hari tiada dapat diramal; walau beribu bintang telah terbaca; Hanya kali ini mengingati; Semua alam bernyanyi bertasbih; Lalu, enggankah diri ini?                                                                                                             Medan, 28 November 2011 Puisi ini dibuat di awal-awal bulan mengajar di Siti Hajar, karena masih beradaptasi dengan kondisi sekolah yang penuh perjuangan mengambil hati anak-anak dan sekaligus berjuang untuk tidak jatuh dalam persaingan.

Merasai

Bukan sekali ini saja kau merasai bahkan berpuluh-puluh permata engkau dapatkan. Terbuang sajak air mata, percuma. Untuk sementara kau coba hilangkan, karena dirimu punya privasi, untuk sementara? Kau telah coba merasai, katamu. Namun, rasa apa yang kau rasakan? Apakah hendak pula kau rasai, rasa anyir dan menjijikkan sebagai air hitam selokan. rasa lara dipanggang sebongkah bara api yang menghitam. Nyatanya kau dapat hilangkan segala rasa untuk sementara. Untuk sementara? rasanya, rasamu, rasaku, apakah hanya untuk sementara?                                                                 Medan, September 2011 Puisi ini ditulis karena perasaan kecewa dengan pemimpin di Indonesia.

(Lomba Dunia Maya) Sebuah Kisah Dua Anak Manusia

Oleh: Siti Utari Rahayu Hari Senin, pukul 11.34 WIB, matahari terus beranjak naik. Aku berjalan di tengah panasnya bumi bersama temanku, Novi. Walaupun sinar matahari belum tepat berada di atas ubun-ubun kepala, tetapi kepalaku sudah terasa sangat panas. Ini tak lain karena asisten laboratorium elektronika dasar yang memberi tugas mencari datasheet dari internet, kendati datasheet itu tak kami pergunakan. Harus kuakui bahwa dengan semakin berkembangnya teknologi informasi maka semakin mudahnya manusia mencari berbagai informasi, tetapi karena semakin mudah itulah maka asisten laboratorium pun dengan mudahnya membebankan tugas yang kadang tidak sesuai dengan topik praktikum yang seharusnya. Aku sadar bahwa kesalahan ini bukan berasal dari teknologi itu sendiri, melainkan berasal dari manusia-manusia yang dengan semena-mena menyalahgunakannya. Aku dan temanku hanyalah dua manusia dari sekian manusia yang menjadi korban penyalahgunaan interteka(internet dan antek-anteknya). Kami