Oleh: Siti Utari Rahayu
Sudah 15 menit aku menunggu kendaraan umum yang
dapat kutumpangi untuk sampai ke Medan. Namun belum ada satu pun kendaraan seperti
itu yang lewat, hanya truk-truk besar melintas dengan kecepatan sedang, hari
memang masih pagi, udara masih segar. Sekali-kali aku menoleh ke belakang,
melihat rumahku yang tampak semakin tua, mungkin telah 30 tahun lebih berdiri
di tanah Tebing Tinggi ini. Pasti sekarang ibuku sedang memasak makanan yang
akan diantarnya untuk ayah di ladang. Aku kembali berpaling ke jalanan,
bagaimanapun aku tak mau mengingat lebih dalam tentang kedua orang tuaku, rasanya
hal itu hanya akan membuatku tersiksa, tersiksa karena cintaku pada mereka.
Dua
bulan lalu aku memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit umum di kota Medan
karena aku sering sakit kepala. Dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui
bahwa ternyata selama ini aku menderita tumor otak. Mungkin hidupku tak akan
lama lagi. Aku masih merahasiakan hal ini terhadap orang tuaku, biaya
pengobatan kuperoleh dari uang beasiswa dan sedikit tabungan hasil mengajar les
private. Sebenarnya aku merasa telah mengkhianati mereka tetapi aku-sebagai
anak lelaki satu-satunya di keluargaku-pun tak sanggup untuk mengatakannya
kepada mereka.
Jalanan
masih lengang, tetapi sepuluh menit kemudian penantianku usai, dari jarak 7
meter kulihat sebuah kendaraan umum berwarna abu-abu, kendaraan ini akan
membawaku ke Medan, untuk kembali melanjutkan kuliahku. Aku pun menaikinya
dengan berdoa, kuharap aku sampai ke Medan dengan selamat. Ternyata kendaraan
ini sepi penumpang hanya barisan tempat duduk di belakang supir yang terisi,
sisanya masih kosong. Aku memilih duduk di dekat jendela pada barisan kedua,
dalam perjalanan ini aku ingin memandangi seluruh pemandangan jalan sambil
merenung.
Sepuluh
menit setelah kendaraan melaju, seorang bapak naik dan duduk tepat di
sebelahku. Aku tersenyum menyambutnya, dia pun membalasnya. Wajah bapak itu
sangat teduh, mungkin umurnya sekitar 50 tahun-an. Setelah kendaraan melaju,
suasana kembali sepi. Supir tidak menghidupkan radio ataupun musik, sehingga
hanya bunyi-bunyi kendaraan saja yang terdengar.
Kendaraan
telah memasuki daerah Sei.Rampah. Untuk mengusir kebosanan aku pun hendak membaca
sebuah buku motivasi yang kupinjam dari perpustakaan universitas sebelum aku
pulang kampung. Aku mulai membaca, pada buku itu dikatakan bahwa seseorang
harus mempunyai tujuan hidup. Kutelungkupkan buku itu di pangkuanku, dan
pikiranku menerawang, dulu aku juga telah menyusun sejumlah gerak untuk mencapai
tujuanku.
Semenjak
aku berada di sekolah menengah atas, aku mulai memikirkan bangsa ini. Aku
tersadar bahwa masih banyak ketidakadilan terjadi di negeri ini juga
kelemahan-kelemahan dari segala sistem pemerintahan yang berlaku. Kemiskinan
meningkatkan kemaksiatan, bukan itu saja bahkan kekayaan juga diperoleh dengan
kemaksiatan. Para pejabat dengan sedikit gerak dapat memperoleh uang yang
sangat banyak, entah dari mana. Baik masyarakat maupun pembesarnya sangat
mendewakan orang asing bahkan dengan orang-orang yang masih menindas tanah ini,
segala macam gaya hidup mereka diperturutkan. Ingin rasanya aku menghentikan kesalahpahaman
bangsa ini, mengubah cara pandang bangsaku yang kuyakini kurang percaya diri
itu. Makanya aku berusaha keras agar dapat kuliah, itulah salah satu gerakanku.
Tapi kini segala keinginan itu sepertinya terpenjara dalam bilik-bilik
kehampaan hati, mungkin hanya menjadi sekedar keinginan tanpa gerak.
”Buku
Motivasi ya?” Tiba-tiba bapak itu bertanya, membuyarkan
lamunanku. Sebenarnya hal itu
tak perlu ditanyakan. Hanya dengan melihat judul buku ini saja orang pasti
sudah bisa menebaknya, tanpa mempertanyakannya. Mungkin bapak ini hendak
mengusir kebosanan karena irama kendaraan yang tak berubah.
”Iya,” jawabku singkat sambil tersenyum memandanginya. “Akhir-akhir
ini saya merasa hidup ini hampa saja, makanya saya pikir lebih baik jika saya
membaca buku motivasi hidup seperti ini, ingin mengetahui hakikat hidup,”
lanjutku dengan perasaan ringan, entah kenapa aku merasa ingin sekali menceritakan
masalahku kepada bapak ini. Perasaan ini sebenarnya sangat ganjil bagiku,
karena aku tak pernah menceritakan masalah apapun kepada orang lain apalagi dengan
orang yang tidak kukenal.
“Coba Adek pikirkan
empat pertanyaan dasar ini siapakah kita, dari mana kita berasal, untuk apa
kita di dunia ini, dan akan kemana kita setelah meninggal,” katanya dengan
pandangan lurus ke depan. “Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, nanti
Adek akan tahu sendiri hakikat hidup ini, namun Adek harus menjawabnya dengan
panduan agama, jika tidak alamat sesatlah nantinya. Bagi saya hidup ini hanyalah perjalanan, seperti
perjalanan kita saat ini, hendak menuju satu tempat, satu tujuan. Jalan yang dapat
kita tempuh dalam hidup ada dua, jalan lurus atau jalan sesat, itu tergantung
pada bagaimana sikap kita memaknai hidup. Dan Tuhan tidak hanya memberi pilihan
ini tetapi juga telah memberi pedoman hidup, sekarang kitalah yang menentukan. Kamu sedang kuliah?” Lanjutnya sambil memandangku dengan senyuman.
”Iya, di USU
jurusan ilmu komunikasi,” kataku pelan sambil memandanginya. Aku masih terpana dengan kata-katanya tadi.
”Bapak
pun punya anak lelaki, anak bapak satu-satunya. Ketika dia seumuran kamu dia
juga menderita tumor otak, bahkan dokter telah memvonis bahwa hidupnya hanya
tinggal hitungan bulan saja. Pada saat itu dia kehilangan semangat hidup,
bahkan dia bilang bahwa cita-citanya yang ingin mengubah bangsa ini hanya
tinggal keinginan belaka, tanpa realisasi. Seperti kamu kan? Bedanya dia mengatakan semua masalah itu kepada bapak, sebagai
orang tuanya. Semakin lama penyakitnya semakin parah, dia pun sudah tidak dapat
meneruskan kuliahnya, padahal hanya tinggal menyusun skripsi. Tubuhnya semakin
kurus dimakan penyakit itu, Sudah banyak dokter dan tempat pengobatan yang kami
datangi, sudah banyak doa mengalir dari hati kami, tetapi penyakitnya tak
kunjung sembuh, ” katanya dengan wajah yang berubah murung, mungkin sekarang
anaknya itu sudah meninggal. Aku turut sedih mendengarkan ceritanya, bisa jadi
nasibku nanti akan seperti nasib anak bapak ini, meninggal pada usia muda. Tetapi,
bagaimana mungkin dia dapat mengetahui semua isi pikiranku sepanjang perjalanan
pulang ini, padahal aku belum mengatakannya. Dan bagaimana pula masalah anak
bapak ini bisa sama dengan masalahku. Semua kebingungan itu menyelimutiku
hingga terwujud di wajahku.
”Pak supir, tolong saya diturunkan di Pasar Bengkel Perbaungan!” Teriak Bapak itu kepada supir kendaraan
ini. Dia tersenyum memandangiku tanpa menjawab keheranan di wajahku itu. Suasana
kendaraan masih sama seperti ketika bapak ini masuk, sepi. Kendaraan melaju
mendekati Pasar Bengkel Perbaungan.
”Bapak
mau membelikan oleh-oleh untuk cucu bapak,” katanya tiba-tiba saat kendaraan
hendak berhenti di Pasar Bengkel Perbaungan.
”Cucu
Bapak yang mana? Bukannya anak Bapak cuma anak lelaki yang Bapak ceritakan
tadi?” Tanyaku heran. Kendaraan pun berhenti.
”Tentu
Saja,” ujarnya singkat sambil bergegas turun. ”Anak bapak itu sekarang menjadi manajer
suatu perusahaan. Dia sudah sembuh total dari penyakitnya. Kamu heran? Kan kalau Tuhan mengatakan ’Jadilah!’
maka jadilah, walaupun hal itu terasa tidak mungkin bagi kita, kamu pun
percayalah!” lanjutnya saat keluar dari kendaraan. Kemudian pintu kendaraan pun
ditutup. Aku masih terbengong, perasaan bingung bercampur
takjub berbaur di pikiranku. Namun hatiku tiba-tiba menjadi lapang untuk
mengatasi masalahku ini.”Tidak peduli seberapa lama sisa waktu yang diberikan
Tuhan untuk hidup, karena hidup adalah hidup-hanya untuk menyembah-Nya.” Tiba-tiba kata-kata itu tertulis di
hatiku. Kendaraan masih melaju dengan irama yang sama.
Medan, 2009
Comments
Post a Comment