Oleh: Siti Utari Rahayu
“Apa yang hendak Mas bicarakan?” Tanyaku pada Mas Tanu,
suamiku, sesaat setelah kami duduk di teras rumah.
Dia memandangiku dengan tatapan lembut, tatapan yang
sangat kukenali. Lalu pandangannya dialihkan ke depan, memandangi langit di
kejauhan. “Lihatlah sinar mentari itu, pancarannya menerangi kita,” katanya
lagi seakan hendak mengalihkan pembicaraan.
Aku tersenyum saja. “Ya, dia bagai lampu panggung yang
menyorot dua pemain drama utama,” kataku sambil menatapnya.
Dia mengalihkan sorot matanya kepadaku, beberapa menit
kami saling bertemu pandang, mengalirkan rasa yang telah kupendam
berbulan-bulan. Lalu dia tersenyum dan menundukkan kepalanya. Aku terus
memandanginya sambil tertawa renyah.
“Mengapakah orang tuamu membangun rumah menghadap ke
barat? Ke arah matahari tenggelam,” Tanyanya kemudian.
“Aku tak tahu pasti, Mas. Mungkin agar dapat menikmati
matahari tenggelam, seperti saat ini.”
“Matahari belum tenggelam, Ri. Mungkin sebentar lagi.”
“Ya, maksudku sebentar lagi, Mas. Romantis.”
“Romantis?”
Lalu kami berdua tertawa ringan. Angin berhembus
perlahan, menyemaikan benih-benih kedamaian. Terpaannya merenggut hatiku yang
sedang bergembira karena kehadiran Mas Tanu. Sudah enam bulan dia pergi ke Australia ,
melanjutkan kuliah S-2. Dan beberapa hari ini dia akan di sini bersamaku.
Katanya dia menyempatkan diri buat pulang karena ada hal penting yang hendak
dikatakannya kepadaku. Sebenarnya ada sedikit kegelisahan di hatiku, apalagi
kulihat sikap Mas Tanu agak sedikit kaku kepadaku, bagai pertama kali bertemu.
Namun, aku berusaha menghilangkan kegelisahan itu. Aku yakin Mas Tanu masih
cinta padaku.
“Mas, sebenarnya hal apa yang hendak Mas katakan?”
Tanyaku lagi, kali ini dengan intonasi manja.
Dia kembali menatapku dengan tatapan yang sangat
kukenali. Lalu dia mengalihkan pandangannya ke langit. Aku menjadi semakin
penasaran, rasanya aku ingin memaksanya saja untuk mengatakan hal penting itu.
Namun, aku ingin membangun keromantisan suasana senja ini.
“Mas, lihatlah selasar itu,” kataku kemudian sambil
menunjuk selasar tepat di depan kami. Selasar yang tersusun atas batako merah,
kini selasar tampak sangat tua karena beberapa rumput kecil bermunculan di
sela-sela batako. “Dulu orang tuaku menggelar karpet merah di tengah selasar
itu, Mas masih ingat? Saat pesta pernikahan kita,” lanjutku.
“Tentu saja, Ri. Indah sekali saat itu. Bukankah
pelaminan kita diletakkan tepat di tempat kita duduk sekarang? Ah, para tamu
itu bagaikan tamu agung yang akan menyalami calon raja dan ratu,” ujarnya
sambil tertawa kecil.
Aku ikut tertawa. “Ya, indah sekali saat itu. Hari itu
adalah hari yang paling membahagiakanku,” kataku sambil memandang indah selasar
itu.
Kulihat dari sudut mataku dia tersenyum, tatapanku
kembali menerpanya. Lalu tiba-tiba kurasakan air mukanya berubah sedikit
murung. Aku menjadi semakin gelisah.
“Aku masih ingat saat kita pertama kali bertemu,” kataku
hendak mewarnai suasana yang tiba-tiba terasa kelam. Sedang matahari di ufuk
barat semakin turun. “Mas masih ingat kan?”
“Tentu, saat itu kita sama-sama di perpustakaan. Kau
masih ingat kejadian itu?”
“Ah, iya. Saat itu Mas mengambil buku yang kuletakkan di
meja-buku yang hendak kupinjam-tanpa seizinku.”
“Bukankah itu salahmu juga?” Katanya menggodaku.
Aku mengangkat alis. “Salahku?” Tanyaku kembali.
“Mengapakah kau meninggalkan buku itu di meja?”
“Tetapi, bukankah aku sudah meletakkan pulpen dan slip
peminjaman di atasnya? Bukti bahwa buku itu ada pemiliknya.”
Tiba-tiba dia tertawa. “Sebenarnya Mas memang sengaja
mengambilnya, buku itu buku satu-satunya di perpustakaan saat itu, dan Mas
sangat membutuhkannya,” ujarnya masih dengan tawa yang menyenangkan hatiku,
akhirnya dia mengakui pencurian kecil itu.
“Untung saja aku segera melihatnya. Soalnya aku juga
butuh buku itu. Eh, buku apakah itu hingga kita sama-sama butuh, bukankah Mas
adalah mahasiswa teknik dan aku mahasiswa psikologi?”
Dia tertawa. “Bukankah agama kita sama? Kenapa kau lupa
hal sepenting itu?” Tanyanya sambil melirik kecil ke arahku.
Aku ikut tertawa. Ah, betapa bodohnya aku. Namun, aku
senang dia terus mengingat kejadian itu, pertanda bahwa dia benar-benar cinta
padaku.
“Mas, aku jadi teringat masa-masa kita berkenalan. Saat
itu Mas adalah orang yang membuatku senang mendengarkan lagu-lagu romantis.”
Dia tersenyum. “Bukankah saat itu kau suka sekali
mendengarkan lagu-lagu rock?”
“Iya, kini rasanya janggal sekali kalau mendengarkan
lagu-lagu seperti itu.”
Kami tertawa, lalu tiba-tiba tawanya reda.
Kupandangi dia, matanya hanya tunduk menyapu lantai,
wajahnya masygul. Aku menjadi gelisah kembali, tetapi kubasuh-basuh juga hatiku
dengan perasaan sabar.
Beberapa lama kami berdua terdiam, terdengar kicau burung
walet di kejauhan.
Dia mengalihkan pandangannya kepadaku, matanya yang tajam
berlawanan pandang dengan mataku, jantungku berdebar. “Ri, aku…Aku, aku minta
maaf,” katanya kemudian. Jantungku seakan disengat listrik, adakah kabar buruk
yang akan kuterima dari Mas Tanu? Kabar buruk inikah yang akan disampaikannya? Namun,
aku terus berusaha untuk menyenangkan suasana.
“Tentang pencurian
itu? Buat apakah Mas minta maaf sekarang? Bukankah kejadian itu sudah lama
sekali?” Kataku sambil tertawa.
Dia diam saja. “Aku merasa kita tak dapat bersama lagi,
karena itu akan menyakitimu. Aku minta maaf, Ri,” katanya lagi sambil membuang
pandang ke langit yang mulai kemerahan.
Aku terdiam. Benarkah apa yang kudengar?
“Mas sedang bercanda kan ?”
Tanyaku pelan sambil memandangnya.
Dia balik melawan padangan mataku, ditatapnya aku dengan tatapan
serius. “Aku tidak bercanda, Ri. Maafkan aku,” katanya pelan.
Kulihat dimatanya ada sebuah keseriusan atas penyesalan
yang mendalam. Kunanti beberapa saat, berharap dia akan tertawa keras dan
berkata, “Mengapakah kau percaya lelucon ini? Bukankah itu konyol.” Kunanti
dalam diamnya yang menyesakkan, tatapannya yang menyentuh lantai membuatku
ngilu. Kunanti dan tahulah aku bahwa ini bukan lelucon, dia benar-benar
menceraikanku.
Rasanya aku mau
menangis sekuat-kuatnya. Aku telah diceraikan pada saat langit begitu
romantisnya, pada saat kerinduanku memuncak setelah berbulan-bulan tak bertemu.
Betapakah teganya Mas Tanu memperlakukanku sebagai ini?
Aku masih diam. Aku tak tahu harus berkata apa. Rasanya
aku membenci semuanya. Kali ini senja itu menjadi begitu kelam, bagaikan
segelas khamar yang dituangkan pada
cawan merah.
“Ri, maafkan aku. Bukannya aku tak sayang padamu. Sebenarnya
selama ini aku adalah seorang gay.”
Aku terkejut, dengan pandangan penuh tak percaya
kuarahkan mataku kepadanya. Dia balik memandangku dan melanjutkan penjelasannya,
”Ya, aku sudah berusaha menghilangkan perasaan itu, Ri. Terutama setelah kita
menikah. Tetapi, aku rasa aku tak dapat membohongi diriku sendiri. Aku harus
mengakhiri ini semua agar tak ada yang terluka di antara kita.”
Aku menarik nafas panjang, air mataku mulai menetes.
Kukumpulkan segala daya buat berbicara, aku harus berbicara.
“Mengapakah Mas tega mengatakan itu padaku? Kita telah
setahun menikah, Mas. Walau kita belum dikaruniai anak tetapi aku sangat
mencintaimu, Mas. Bukankah baru saja kita mengenang masa-masa manis? Ternyata
Mas hanya hendak menghiburku saja! Ketahuilah bahwa manis yang sedikit tak
dapat mengalahkan pahit yang banyak!”
“Ri…”
“Mas, lihatlah kembali selasar itu, di situ karpet merah
pernah digelar buat kebahagiaan kita. Oh, buat apakah karpet merah itu dulu?
Buat apakah orang memberi ucapan selamat kepada kita? Sekarang, melalui selasar
itu mayatku akan digiring menuju pemakaman. Selasar itu juga akan merah, bukan
merahnya karpet. Tetapi, merahnya darah yang tertumpah akibat luka. Apakah jika
itu terjadi, Mas tidak akan insaf pula?” Kataku sambil memandang hampa ke arah
selasar. Aku tak tahu air mukanya saat itu, aku tak ingin menatapnya.
“Ri, apa yang kau katakan?! Mengapakah kau mengingati kematian?”
Nada suaranya seakan tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan.
“Ya, memang. Kita harus mengingat kematian agar kita
bersyukur atas apa yang kita peroleh selama hidup. Apakah Mas tidak insaf?
Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Positif-negatif, baik-buruk, putik-benang
sari. Mengapakah Mas membohongi diri dan menyangkanya sebagai suatu kebenaran?
Ketahuilah, Mas, bahwa segala sesuatu yang tidak semestinya adalah salah.”
“Ri, mengapakah kau tidak dapat mengerti aku? Aku tahu
kau membenciku karena memang benar aku menduakanmu selama ini dan aku minta
maaf untuk itu. Tetapi bisakah kau menganggap bahwa ini adalah takdirku, ini
semua bukan mauku! Ini kehendak Tuhan!”
“Mas, aku bukan membencimu, aku menyayangimu, sangat
sayang. Tetapi, mengapakah saat ini Mas mesti menyalahkan Tuhan pula? Insaflah
Mas, kembalilah ke kehidupan yang semestinya. Aku sangat menyayangimu, Mas.”
Air mataku tumpah sejadi-jadinya, tak dapat kutahan-tahan lagi.
“Ri, kumohon janganlah menangis seperti itu. Aku tak akan
bisa membahagiakanmu. Bencilah aku! Kenanglah aku sebagai pecundang yang hanya
memanfaatkanmu untuk menutupi aibku! Bencilah Aku! Tetapi biarkan kita berpisah
jalan.”
Aku menjawabnya dengan tangisan.
“Ri, aku tak ingin menyakitimu lebih dalam. Aku sangat
menyayangimu. Tenangkanlah dirimu, biar nanti urusan kita Mas yang selesaikan,”
katanya sambil bangkit dari duduknya, menuju ke dalam rumah, lalu dia datang
kembali dengan kopornya.
Dia terus berjalan ke luar teras, menuju selasar, aku
membuntutinya dengan pandangan mata yang berlinangan air mata. Sesampainya di
tengah selasar, dia berbalik memandangku. Ya, dia berdiri di situ, di selasar
yang pernah digelari karpet merah buat orang-orang menyalami kami. Di situ
kulihat dia berada di keadaan semakin merah, terkena percikan langit yang
memerah, selasar itu memang merah dan aku merasa pusing seketika, bagaikan dibawa
ke langit-langit senja.
Comments
Post a Comment