Oleh: Siti Utari Rahayu
Sekeping hari telah pecah pada suatu pagi yang cerah. Sinar matahari
menyeruak masuk melalui celah-celah langit. Seorang gadis berpakaian kemeja putih
ketat-rok pendek berbahan jeans telah
bersiap untuk menyambut hari. Pandangannya menyala ke depan seakan-akan hendak
menaklukkan dunia. Ditangannya tergenggam sebuah map merah. Sedang sepasang
sepatu biru tua telah terpasang di kakinya.
āBu! Maya pergi
dulu, ya!ā Teriak gadis itu dari teras rumahnya.
Seorang wanita tua
tampak datang tergopoh-gopoh menuju teras. Sebuah handuk kecil tergantung di
bahunya yang padat.
āJadi kamu
mengantarkan lamaran beasiswa itu? Sudah yakin?ā Tanya wanita tua itu yang tak
lain adalah ibu Maya.
āTentu saja, Bu.
Doakan Maya ya, Bu!ā Katanya sambil kembali merapikan pakaiannya.
Ibu Maya
mengangguk, tetapi Maya tak melihat anggukan ketulusan ibunya itu karena dia telah
berjalan keluar.
Selepasnya pagi
menjadi pagi biasa, waktu dhuha datang seperti biasa. Tetapi, Maya yakin hari
itu akan menjadi sekelumit perguliran waktu yang menyenangkan, karena dia yakin
dapat memperoleh beasiswa belajar ke Amerika. Semua berkas telah disiapkan,
proposal penelitiannya telah matang, nilai ujian bahasa dan tes akademiknya pun
semua bagus. Kini, dia begitu gembira. Selepas mengirimkan semua berkas lewat
pos, dia menanti-nanti datangnya siang. Karena pada siang nanti dia dapat
menemui Ferdi, kekasihnya buat memberitahukan kabar gembira ini.
Benarlah, siang tak
pernah mengingkari janji, dan ketika dia datang, Maya telah duduk manis di
sebuah restoran masakan Italia. Pandangannya terus diarahkan ke pintu masuk
restoran. Akhirnya, lelaki yang dinanti-nantinya itu datang, dengan pakaian
kerja sebagaimana biasanya. Namun, hari ini Maya merasa lelaki itu lebih tampan
dari biasanya. Maya terlalu merasakan euphoria yang belum pasti.
āFerdi, tebaklah?!
Kabar gembira apa yang hendak kukatakan?ā Tanya Maya seketika saat lelaki itu
bersiap duduk.
Ferdi menaikkan
satu alisnya, keningnya berkerut. Dia pun mengangkat kedua bahunya sambil
tersenyum, dia tak tahu.
āAku telah mengirim
semua persyaratan beasiswa, dan aku yakin aku akan lulus!ā Maya mengatakannya
sambil tersenyum-senyum gembira.
Ferdi hanya
tersenyum simpul, lalu dia diam menatap meja seakan dia memikirkan sesuatu yang
sangat berat. āAku turut gembira, May,ā katanya kemudian.
āItu harus!ā
āKapan pengumuman
kelulusan, May?ā
āDua bulan lagi,
Fer. Doakan ya!ā
Ferdi tersenyum.
āKalau kau lulus,
kapan akan berangkat?ā
āTahun depan.ā
āKalau begitu,
kitaā¦Kitaā¦Kita menikah saja tahun ini.ā
Maya menatap Ferdi
dengan pandangan heran. āKita bahkan belum bertunangan,ā kata Maya.
āKita langsung
menikah saja.ā
āMemangnya kenapa
harus buru-buru?ā
āKita telah terlalu
lama bersama, May. Dan aku rasa tak ada yang perlu kita tunggu. Kita sudah
sama-sama dewasa sekarang. Apalagi mungkin kau akan pergi jauh.ā
āKau takut
kehilangan aku?ā
āYa, karena aku
telah bersamamu terlalu lama.ā
Perasaan Maya
menjadi kacau, dia sangat gembira karena secara tak langsung Ferdi menyatakan
rasa cinta yang tulus kepadanya. Di sisi lain, dia merasa heran karena
akhir-akhir ini Ferdi berubah. Dia tak pernah lagi memeluk dan menciumnya
bahkan untuk sekedar menggenggam tangannya. Saat itu Maya menjadi ragu akan
Ferdi, dia berpikir bahwa lelaki itu sudah tak lagi mencintainya. Namun,
nyatanya lelaki itu sekarang melamarnya, mengajaknya untuk menikah. Dia merasa Ferdi
menjadi Ferdi yang lain, dan dia tidak menyukainya.
āAku senang kau
melamarku. Tetapi, aku harus memikirkannya dulu, Fer,ā kata Maya akhirnya.
āBesok malam, temuilah aku di tempat biasa,ā katanya lagi dengan masygul.
āAku tak bisa ke
tempat itu lagi, May. Aku datang ke rumahmu saja besok malam.ā
Maya terkejut.
Ferdi tak lagi hendak ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Apa sebenarnya yang
sedang terjadi pada Ferdi. Maya terdiam, Ferdi juga diam, hanya suara sendok
dan piring beradu saja yang terdengar.
āMay, kalau kau
menerima lamaranku ini. Aku ingin agar kau mengubah penampilanmu, May.ā
āApa maksudmu?ā
āAku ingin kau berpakaian
sesuai budaya kita, May.ā
Maya diam saja.
Benarlah Ferdi telah berubah dan hal itu menyebabkan keyakinannya pada Ferdi
semakin memudar. Meskipun cintanya masih kuat, namun ada kekahwatiran pada
dirinya bahwa Ferdi akan ikut mengubah dirinya, mengubahnya menjadi diri lain
yang tak disenanginya.
āTemuilah aku besok
malam di rumahku,ā kata Maya kemudian, dia segera menandaskan jus jeruknya dan
berlalu meninggalkan Ferdi yang kini kaku. Dipandanginya Maya yang menemui
pelayan restoran dan membayar minumannya. Mungkin gadis itu tersinggung akan
permintaannya.
āāā
Malam tetaplah
malam, gelap karena ketiadaan sinar. Namun, pertengahan bulan adalah hal yang
mengasyikkan, rembulan berada di atas sana
mengibas-ngibaskan sinar mentari. Maya sedang menunggu Ferdi di teras rumahnya,
dia sedang menimang-nimang keputusannya. Dia mencintai Ferdi dan dia pun
mencintai cita-citanya, keduanya bagaikan sekeping uang logam baginya.
Yang dinantinya
akhirnya datang, tepat pukul 8.00 malam. Dia duduk di kursi sebelah Maya.
āMana Ibumu, May?ā
āDi dalam. Oh ya, aku
ambilkan minum dulu ya!ā Ujar Maya, langkahnya tergesa menuju ke dalam rumah.
Ferdi tersenyum.
āBaru kali ini aku melihatmu membawakan minuman untukku, May,ā batinnya.
Seorang wanita tampak datang dari dalam, bunyi telapak kakinya begitu berbeda
dengan langkah kaki Maya, ternyata wanita itu adalah ibunya Maya.
āEh, Nak Ferdi.
Sudah lama datang?ā Tanya Ibu Maya.
āBaru saja, Bu. Apa
kabar, Bu?ā Jawab Ferdi sambil menyalami Ibu Maya.
āAlhamdulillah,
sehat. Belum malam minggu kok udah
ngapelin Maya?ā Ledek Ibu Maya.
āNamanya juga anak
muda, Bu,ā ujar Ferdi singkat sambil tersenyum ringan.
Maya datang sambil
membawa segelas teh dan setoples biskuit. Ibu Maya terlihat gembira. āYa sudah
ibu tinggal ke dalam dulu ya?!ā Katanya dan segera berlalu.
āSilahkan dimakan!ā
Kata Maya.
āKau berbeda sekali
hari ini, May.ā
Maya tersipu. Sudah
tiga tahun mereka berhubungan, tetapi rasanya baru hari ini mereka bertemu
pandang.
āFer, aku sudah
memikirkannya. Kau tahu aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Tetapi, aku tak
bisa mendustakan diriku, aku tak bisa melepaskan cita-citaku.ā
Ferdi menatap Maya
dengan penuh kasih hingga sang gadis memerah mukanya dan membuang pandangannya
ke rembulan.
āLihatlah rembulan
itu, May. Betapa indahnya. Kau tahu kan
kalau keindaannya itu fana. Rembulan tidaklah indah jika tak mendapat sinar
mentari. Dia hanyalah benda langit kelabu yang dipenuhi lubang-lubang. Jika kau
tahu wujud rembulan yang sebenarnya, kau takkan rela disamakan dengannya.ā
Maya tersenyum.
āIya. Fer, apakah rembulan tak pernah bosan? Mungkinkah dia merasa letih dan
kembali ke peraduannya?ā
āDia tak pernah
bosan, May. Namun, suatu saat nanti dia juga akan letih, letih karena tuanya alam
ini. Dan dia akan kembali ke peraduannya, seperti juga kita.ā
āTetapi, rembulan
bukan benda hidup, Fer. Dia akan terus mengitari bumi, tak ada tempat yang
dinamakan peraduan baginya.ā
āAda , tentu saja ada, May.ā
Maya mengernyitkan
keningnya.
Ferdi tersenyum.
āKau tahu kenapa?ā Maya menggeleng. āKarena ada Tuhan, May. Dia-lah yang
nantinya mengistirahatkan rembulan.ā
Maya tersenyum
ringan. Ringan sekali.
āMay, aku tahu
cita-citamu. Aku bukannya ingin menghalangimu pergi atau membatasi gerakmu.
Kalau kau lulus dan harus pergi ke Amerika, aku akan ikut. Asalkan kita sudah
ada ikatan sah. Itu saja.ā
Maya memandang
Ferdi dengan masygul. āAku belum siap berumah tangga, Fer. Walaupun aku belum
lulus beasiswa tahun ini, aku tetap masih belum siap menikah, Fer. Kumohon
mengertilah,ā ujarnya lirih.
āAku tak akan
menyuruhmu cepat-cepat menjadi ibu. Yang aku mau hanyalah kau dan aku bersama.
Hanya itu yang kuinginkan, May. Ini semua demi kebaikan kita berdua.ā
āKalau begitu, kita
bertunangan saja dulu, Fer.ā
āMengapa? Bukankah
nantinya kita akan menikah juga. Apa yang kau pikirkan, May?ā
Maya terdiam,
pandangannya kembali dialihkan ke rembulan. Dia juga berpikir, apa yang
dipikirkannya? Bukankah Ferdi benar-benar cinta padanya? Bukankah semua
keinginan Ferdi itu masuk akal? Lalu, Apa yang mengganjal hatinya?
Akhirnya Maya ingat sesuatu, dia ingat akan budi Ferdi
yang berubah. Dia merasa semakin sopan padanya, dia tahu hal itu hanyalah
menandakan bahwa Ferdi semakin dewasa dan menjadi lebih baik. Tetapi, justru
hal itu yang mengkhawatirkan Maya selama ini. Dia khawatir akan dikekang jika
menikah nanti, sedang akhir-akhir ini Ferdi sering mengkritik pakaiannya,
sikapnya, dan gaya
hidupnya. Jika dia menjadi istri Ferdi yang sah, dia pasti harus menuruti semua
kehendaknya. Maya merasa belum sanggup.
āKau telah berubah, Fer,ā ujar Maya lirih. Ferdi
menatapnya dengan kaget. āYa, Kau telah berubah, Fer. Gaya
hidupmu, gaya
berpikirmu, semuanya. Aku tahu kau telah menjadi semakin dewasa. Tetapi, aku
belum sanggup menyamaimu,ā lanjutnya.
āAku tak pernah berubah, May. Kedewasaanku ini hanya
membawaku kembali, itu saja. Kita telah terlalu berjalan jauh, jauh sekali.
Meninggalkan akar budaya kita, meninggalkan fitrah kita.ā
āDan kau ingin aku kembali bersamamu?ā
Ferdi mengangguk yakin.
āInilah aku, Fer. Maya, Maya yang kau kenal dulu. Inilah
jati diriku. Aku tak perlu kembali, Fer. Karena aku tak pernah beranjak dari
mana pun. Janganlah kau sangka aku tak berjati diri karena aku tak berayah!ā
āKau salah, May! Aku tak menyangkamu yang demikian. Aku
hanya ingin mengatakan bahwa kita tak pernah menyadari bahwa kita telah
melenceng, seperti halnya kita tak menyadari bahwa bumi itu berputar. Untuk itu
kita perlu kembali, May.ā
Maya sedih. Nyatanya Feri lebih mementingkan
kenyakinannya daripada cintanya kepada Maya. Kalau begitu adanya, Maya menjadi
yakin untuk lebih mementingkan citanya daripada cintanya.
āKalau kau tak menerimaku sebagian. Janganlah menerimaku
seluruhnya, janganlah memintaku seluruhnya!ā
Ferdi terkejut mendengar perkataan Maya. Dia tahu bahwa dia
telah ditolak, dia telah diputuskan. Ferdi diam, Maya diam. Ferdi mengambil sekeping
biskuit dari stoples dan menandaskan tehnya.
āBaiklah, May. Aku mengerti keputusanmu. Aku
menghargainya. Kalau sampai disini saja perjumpaan kita, biarlah sang rembulan
mengenangnya. Aku mencintaimu, May. Dan jika kau berubah pikiran, datanglah
padaku, May.ā
Air mata Maya hampir tumpah, hatinya retak. Namun,
ditahan-tahannya air mata itu. Dia tak ingin menunjukkan kelemahannya di
hadapan Ferdi. Teganya Ferdi melepaskannya semudah itu!
āApakah kau akan menungguku hingga bulan kembali ke
peraduannya?ā Tanya Maya pelan.
Ferdi tersenyum. āAku tak tahu, May. Itu keputusan
Tuhan,ā jawabnya. Maya ikut tersenyum.
āAku ingin permisi pada ibumu.ā
āPulanglah. Biar nanti aku yang mempermisikanmu.ā
Ferdi bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pagar,
sesampainya di pagar dia menoleh kembali ke belakang, kepada Maya yang hanya duduk
terdiam memandangi rembulan. Lama dia memandang, tetapi Maya tak pernah
membalas pandangannya, akhirnya dia pulang dengan langkah berat.
Selepas kepergian Ferdi, Maya masuk ke dalam rumah,
tangisnya tak dapat ditahan-tahan. Dia berlari masuk ke kamar. Ibunya yang tengah menonton televisi heran
melihatnya.
āMay, kenapa May? Mana Ferdi?ā Tanya ibunya sambil berusaha
membuka pintu kamar Maya yang terkunci.
Pertanyaan ibunya hanya dijawab Maya dengan tangisan.
āāā
Because I donāt know you
anymore, I donāt recognise this place
The picture frames have
changed and so has your name
We donāt talk much anymore,
we keep running from the pain
But what I wouldnāt give to
see your face again
Maya tersenyum mendengar lagu Savage Garden
yang mengalun ringan dari handphone-nya. Dia berjalan ke balkon apartemennya.
Malam ini adalah malam pertengahan bulan, dipandanginya langit, benarlah ada
rembulan di sana .
Namun, dirasakannya pesona rembulan itu berkurang karena gemerlapnya cahaya California . Dia teringat
akan kampung halamannya, akan ibunya yang kini sendirian, dan dia teringat akan
perpisahannya dengan Ferdi setahun yang lalu.
Setetes air mata
jatuh di pipinya, dia rindu semuanya. Dia merasa bosan dengan segala gemerlap kehidupan
yang dijalaninya kini, dia sadar bahwa hidupnya yang sekarang bukanlah hidup
yang sesuai untuknya. Dia teringat akan semua perkataan Ferdi, dan sekarang dia
mengamini semuanya. Dia ingin kembali, itu saja. āApakah Ferdi masih
menungguku?ā Tanyanya dalam hati. Air matanya semakin deras mengalir.
Dipandangnya kembali sang rembulan. Dia melihat
selingkaran pelangi memengelilingi rembulan itu, sangat indah. Maya
berandai-andai. Jika dia dapat membalikkan waktu, dia akan berkata kepada Ferdi
dengan yakin, āFer, biarkan aku ikut bersamamu, hidup bersamamu hingga
datangnya peraduan rembulan.ā
Comments
Post a Comment