Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2014

Tempe, One of My Favorite Food

Aku teringat akan kuliahku beberapa tahun lalu, mata kuliah seminar oleh Prof. Timbangen, kala itu beliau baru saja menyelesaikan studinya di Jepang. Beliau bercerita bahwa orang Jepang meneliti tentang tempe secara ilmiah dan hasilnya diterbitkan dalam jurnal, padahal kita semua tahu bahwa tempe adalah hasil karya nenek moyang Indonesia, namun tak satu pun dari kita yang berniat menelitinya, sungguh tragis. Beliau menjelaskan bahwa dalam jurnal itu dikatakan bahwa tempe ternyata memiliki kandungan protein setara dengan daging tetapi lemak yang sedikit dan tentunya harga yang lebih murah dari daging. Berbekal pengetahuan itu, kesukaanku akan tempe bertambah dan keinginanku untuk memasak tempe dengan berbagai cara pun meluap-luap. Aku teringat bahwa resep tempe andalanku hanya satu, menggorengnya dengan tepung bumbu yang biasa dibuat nenekku. Dan aku perlu mencari resep lain. Nugget tempe ala Mbak Aulia Salah satu resep yang kudapat sekarang adalah resep nugget tempe da

Mengenang Spagheti Ala Vika

Musim gugur sudah masuk, desiran anginnya menerpa tubuhku dan masuk hingga menggetarkan tulang-tulangku. Oktober di Taichung, dingin dan berangin, saat-saat seperti ini rasanya aku ingin makan dan makan. Keinginanku akan makanan asli Indonesia, Tempe, sudah kulampiaskan dengan membeli sebungkus sambal tempe di warung Indonesia di Taichung Station. Namun, aku teringat akan Lebaran tahun ini, 2014,  aku dan dua orang temanku membuat Spagheti saat Lebaran. Siapa lagi kalau bukan Tika dan Vika. Resep Spaghetinya tentu saja sudah kami ubah menjadi lebih pedas karena kami orang Indonesia. Berbicara masalah rasa masakan, memang benar kalau lidah masing-masing negara itu berbeda-beda. Kalau menurut pengamatanku, orang-orang Taiwan tidak menyukai rasa pedas, asin, dan yang terlalu manis. Jadi, menurutku hampir semua rasa masakan mereka itu hambar (bagi orang Indonesia). Jika aku membeli sayur, ingin rasanya sayur itu kumasak kembali dengan menambahkan garam, gula, dan cabe merah tentu saja

Aku dan Kamu Sama

Aku dan kamu sama; Menunggu siang yang penuh peluh; untuk menggapai istirahat hangat; pada malam-malam dingin. Namun, aku dan kamu sama; mengetahui bahwa malam-malam itu pendek; dan pagi pasti menjemput; kita sama-sama terbangun dalam dekapan janji; detik-detik waktu yang bergerak perlahan; penuh misteri; Aku dan kamu sama; merasai perihnya lesatan cahaya; dan berharap malam datang; sekedar menegak istirahat pendek. Aku dan kamu sama; Merasai letinya berpeluh dalam menjalin tali-tali harapan. Namun, aku harap kamu juga sama; mencoba menjalankan jiwa tuk meneguk piala; yang berisi cairan seumpama air kafur yang menetes; Dan kita sama-sama meneguknya.                                                                                                                     Medan, 2013                                                                                                                                                                                                

Selembar Renungan di Musim Gugur (I)

Setiap pagi aku mendengar suara jangkrik yang khas yang menandakan subuh telah tiba, di negeri ini memang tak ada adzan, sekarang. Aku berdoa suatu hari nanti, di sini akan berkumandang suara Adzan setiap saat. Aku jadi teringat bahwa sebelum kita memulai shalat, sebaiknya kita mengumandangkan Iqamah sendiri. Dan nyatanya, aku selalu lalai. Pagi, sunyi dan indah, sungguh nikmat rasanya jika kita membuka lembaran-lembaran Al-Qur'an sambil menikmati isinya, dan saat ini aku menikmati bagian-bagian ini. Suasana Pagi di Asrama NCHU Al-Fatihah, 1: 5-6, " hanya Engkaulah yang Kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan.  Tunjukilah kami jalan yang lurus . " Guruku pernah berkata, jika kita sampai pada bagian ini saat shalat, maka perpanjanglah doa setelahnya, jangan terburu-buru, subhanallah. Tibalah aku pada suatu ayat yang meminta kita untuk berpikir dan meneliti secara ilmiah tentang kandungan ayatnya, Q.S. Al-Baqarah, 2: 22, &

Setitik

Bagai titik air yang memberati hingga hujan turun tak terperi Disana terlihat seufuk mentari diiringi gemericik dan serpihan awan ada pula sepucuk daun rasa-rasanya palu menghantami diri seberkas kelopak melati hilanglah buang diri tiada berarti hanya lalat menempel di kebusukan semuanya adalah dari si pemilik yang perlu hanyalah kembali hingga tak perlu hirau lain-lain yang ada nanti hanyalah sebarisan awan putih di kebiruan yang membening                                              Medan, 2012

Rasanya Asa

Semburat-semburat putih yang disana pula ada asa dirangkulkan serasa dekat tak keruan udara-udara hitam menghimpiti dalam lamunan berkicauan Ah, mengapakah hati ini? apa yang salah dengan semua jalan? hanya hati merasai salah saja tak pantas rasanya. Oh, bibir tak pantas bergetar tapi, asa itu tetap ada hingga hilang semua rasa mungkin baru berketeraturan                                          Medan, 2012

Kereta Tua

Di atas kereta tua yang berderu-deru diterjang waktu aku menanti disana di bangku tua penuh sobekan sambil memandang luaran yang penuh semu. Aku menanti juga segala ruang yang nyatanya penuh sesak hingga waktu melesat-lesat saja melewatinya di atas kereta tua yang penuh jerit tanda tanya Rasa-rasanya ingin kupecahkan jendela itu  jendela si kereta tua lalu, dapat pula kuberlari menjauhi penantian yang nyatanya  hanya mengoyak-ngoyak ruang kebeningan yang jauh-jauh hari telah dipenuhi basahnya syukur. Namun, bagaimana jika kereta ini nyatanya mempunyai sejuta kembaran  hingga hati yang mengemis-ngemis terbunuh sudah                                                                      Medan, 2012

Bukan Kali Pertama

Ini bukan kali pertama terinjak pucuk daun yang tadi pagi terpetik angin sang pucuk yang hendak meranjak naik Bukan pula kali pertama daun yang berguguran terinjak-injak sang daun yang rela ditiadakan tiadanya dia adalah awal kesuburan Sungguh ini bukan kali pertama!! yang kali pertama adalah ketidaktahuan akan manfaat sang daun ketidakmahutahuan akan segenap rasa sang daun Sungguh, ini bukan kali pertama!!                                         Medan, November 2014

Suatu Pagi

Hujan turun, genderangnya membasahi; tiap-tiap serpihan hitam menebarkan aroma-aroma yang meresap bersama rumput yang basah dan insekta bergeliat; Dia datang seumpama aroma rezeki; yang kadang dihujani pula rasa-rasa mencaci.  Langit kelabu, dihiasi pucuk-pucuk tua; yang enggan bergerak dan hanya bergemulai; Nanti hari tiada dapat diramal; walau beribu bintang telah terbaca; Hanya kali ini mengingati; Semua alam bernyanyi bertasbih; Lalu, enggankah diri ini?                                                                                                             Medan, 28 November 2011 Puisi ini dibuat di awal-awal bulan mengajar di Siti Hajar, karena masih beradaptasi dengan kondisi sekolah yang penuh perjuangan mengambil hati anak-anak dan sekaligus berjuang untuk tidak jatuh dalam persaingan.

Merasai

Bukan sekali ini saja kau merasai bahkan berpuluh-puluh permata engkau dapatkan. Terbuang sajak air mata, percuma. Untuk sementara kau coba hilangkan, karena dirimu punya privasi, untuk sementara? Kau telah coba merasai, katamu. Namun, rasa apa yang kau rasakan? Apakah hendak pula kau rasai, rasa anyir dan menjijikkan sebagai air hitam selokan. rasa lara dipanggang sebongkah bara api yang menghitam. Nyatanya kau dapat hilangkan segala rasa untuk sementara. Untuk sementara? rasanya, rasamu, rasaku, apakah hanya untuk sementara?                                                                 Medan, September 2011 Puisi ini ditulis karena perasaan kecewa dengan pemimpin di Indonesia.