Skip to main content

Posts

Mengaji bareng ustadz: Masalah Hati

Setelah sekian lama, akhirnya aku mendapatkan taufiq untuk meng-edit catatan ceramah ini, meskipun awalnya aku ingin menambahkannya dari sumber lain, tetapi setelah aku membaca isi catatan ini sepertinya cukup baik untuk di- publish dengan hanya sedikit peng- edit -an. Dan kali ini yang kucatat adalah lebih kepada masalah hati. Setiap manusia sebenarnya memiliki potensi fujuraha (merusak) dan takwaha (positif). Oleh sebab itu sungguh beruntung orang-orang yang membersihkan jiwanya.  Kita perlu berhati-hati dengan hati kita sendiri. Dan sebenarnya persoalan bangsa kembali kepada persoalan hati.  Namun ternyata, persoalan yang paling sulit adalah kembali kepada hati. Dalam hal ini ada tiga pembagian hati yang harus kita hindari:  A. Hati yang tertutup : orang yang demikian, suka menyusahkan orang lain (semoga kita jauh dari hati yang seperti ini). B. Hati yang penuh dengan karat karena pemiliknya suka membuat dosa dan maksiat (semoga kita juga jauh dari hati yang seperti ini)

Manajemen Waktu atau Manajemen Diri?

Sebenarnya 24 jam adalah waktu yang lebih dari cukup untuk menyelesaikan tugas-tugas kita sebagai manusia, baik untuk beribadah, bekerja, maupun beristirahat. Namun, kebanyakan kita selalu tidak dapat memanajemen waktu tersebut (atau memanajemen diri?) hingga 'deadline' pekerjaan terasa sangat membebani diri kita dan waktu untuk bekerja bahkan menyita diri kita hingga kita tidak memiliki waktu bersama keluarga. Lalu, sebenarnya bagaimana cara agar kita dapat menyeimbangkan hidup kita selama 24 jam? Ada banyak teori yang berkenaan dengan ini, dan kali ini saya akan berbagi tentang cara memanajemen waktu (atau diri?) berdasarkan Stephen R.Covey yang saya ambil dari buku beliau yang sangat terkenal, "The 7 Habits of Highly Effective People". Nah, dalam buku ini dijelaskan bahwa salah satu kebiasaan orang yang efektif, yaitu melakukan hal yang utama dahulu dalam hidup ( put first thing first ). Yang dimaksud hal utama disini adalah tergantung individual masing-masi

Respon Orang Taiwan Terhadap Makanan Indonesia

Beberapa pekan lalu, aku melihat salah seorang temanku mem-posting poster bazar makanan Indonesia di National Chung Hsing Taiwan, aku pun teringat akan pengalaman kami membuka bazar serupa di Tahun 2015.  Pada saat itu, seperti biasa Universitas kami akan mengadakan suatu acara khusus untuk mahasiswa internasional yang ingin memperkenalkan makanannya atau kebudayaannya. Nah, saat tersebut kami manfaatkan sebagai momen untuk memperkenalkan makanan Indonesia. Temanku (Tri) pun menganjurkan agar aku menjadi ketua panitia dengan maksud agar aku belajar menjadi pemimpin. Jadi, walaupun golongan darahku O, tetap saja aku tidak cakap memimpin dengan tegas (aku terkadang tidak tegaan dan sering cuek). Tetapi, baiklah aku terima saja. Awalnya aku tidak membagi tugas karena aku merasa kasihan semua anggota pada sibuk kuliah (Hahaha), tetapi Tri mengatakan agar bagi tugas saja saat kami rapat, jika tidak tentu saja aku akan pusing sendiri (Hahaha, tu kan beneran aku nggak beres memimpi

Kruuk…Kruuk…

Sebuah mayat laki-laki tergantung kaku pada sebuah pohon seno di pinggir jalan raya, matanya melotot seakan hendak keluar, bibirnya ternganga dikerubungi lalat hijau. Dalam pada itu terlukis rasa kebencian yang mendalam di wajahnya yang sudah pucat itu. Dari wajahnya, dia tampak masih muda, mungkin umurnya masih berkisar 25-an. Orang-orang mengerubungi mayat itu, belum ada yang berani menurunkannya sampai petugas datang. Jalanan yang terang akan cahaya lampu itu terasa kelam dan makin kelam. Namun, kekelaman itu justru menjadikannya ramai sekaligus macet. Bunyi klakson di sana-sini menghidupkan pesta perayaan setan, satu teman lagi telah berhasil diajak ke neraka. Orang-orang mencoba menerka-nerka siapa gerangan orang yang mati itu. Tak satupun dari mereka mengenalinya. Dari bajunya yang kotor dan compang-camping itu, pastilah dia seorang gembel jalanan. Tetapi, rasa-rasanya hampir seluruh gembel di jalanan itu mereka kenali kecuali orang yang telah mati ini. Bahkan, semua gembe

Perjalanan Panjang Menuju Kuliah S2

Niat untuk melanjutkan kuliah sudah menetap di hatiku sejak aku lulus kuliah (dan belum mendapat pekerjaan yang cocok). Kala itu aku yang sudah bersemangat untuk melanjutkan hidup sebagai guru ternyata harus memedam keinginanku itu karena ketiadaan kuliah Akta IV di kotaku. Sehingga jika aku memang ingin mendapatkan ilmu keguruan maka aku harus melanjutkan kuliah untuk mendapatkan gelar S.Pd. Kuliahnya sendiri mungkin akan memakan waktu lebih dari setahun. Aku pun berpikir bahwa jika demikian keadaannya mengapa pula aku tidak sekalian saja meneruskan kuliahku ke jenjang S2, toh sama-sama memakan waktu dua tahun. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliahku ke jenjang S2. Semangatku pun terus dibakar dengan berbagai motivasi dari Pak Gea dan istrinya, Bu Mutia yang baru saja menyelesaikan pendidikan mereka di Inggris. Mereka terus saja menceritakan pengalaman-pengalaman mereka selama berada di Inggris tentang betapa manisnya pendidikan di lua

Refleksi: Hukuman yang Tak Terasa

Pada sebuah artikel di majalah, aku mendapati suatu nasehat yang sangat berharga dan menohok hati, yaitu tentang hukuman dari Allah yang tak terasa, namun merupakan hukuman yang berat ketika seorang muslim tidak menunaikan hak-hak dalam beragama, hukuman tersebut adalah "sedikitnya taufiq" dalam hal ini Taufiq sendiri diartikan sebagai kemudahan untuk mengamalkan ketaatan dan amal-amal kebaikan. Sehingga, "Sedikitnya taufiq berarti orang yang mendapatkan hukuman ini akan merasa kesusahan dan tidak adanya kenikmatan dalam beribadah kepada Allah. Berapa hari yang kulalui tanpa adanya nikmat dalam membaca dan memahami Al-Qur'an? Berapa banyak ghibah yang telah kulakukan tanpa ada rasa bersalah? Berapa banyak momen ibadah yang terlewatkan? Pembiaran ini hanya beberapa bentuk hukuman tak terasa dari Allah, sedang aku terkadang tidak menyadarinya. Sebenarnya lagi, hukuman paling ringan dari Allah terhadap hambaNya adalah hukuman yang terasa pada harta, anak,

Pengalaman Kuliah di Taiwan (NCHU)

Semenjak membaca novel 'Edensor' karya Andrea Hirata, aku selalu tergiang-giang akan satu kalimat di novel tersebut yang menyebutkan: "Aku menyimak kuliah selama dua jam tetapi pengetahuan yang kudapat senilai kuliah satu semester di tanah air" Aku pun ingin merasakan hal yang demikian. Namun demikian, Aku tidaklah berkuliah di tempat yang sangat bergenggi seperti Andre, tetapi Taiwan adalah negara Asia yang juga menyuguhkan pengalaman belajar yang berbeda, berikut adalah pengalaman yang kurasakan ketika belajar di Taiwan: Kuliah akan benar-benar dilangsungkan sebanyak waktu mata kuliah tersebut, misalnya mata kuliah 3 SKS (credit) yang kuambil akan dimulai pada pukul 09.00 dan berakhir pukul 12.00 dan itu benar-benar dijalankan selama itu dengan jeda 10 menit setiap satu jam tatap muka, jadi 50 menit tatap muka, jeda 10 menit, kuliah lagi 50 menit, jeda 10 menit dan akhirnya kuliah sampai pukul 12.00.  Bahan kuliahnya sudah disediakan di portal akademik mata