Skip to main content

Kruuk…Kruuk…


Sebuah mayat laki-laki tergantung kaku pada sebuah pohon seno di pinggir jalan raya, matanya melotot seakan hendak keluar, bibirnya ternganga dikerubungi lalat hijau. Dalam pada itu terlukis rasa kebencian yang mendalam di wajahnya yang sudah pucat itu. Dari wajahnya, dia tampak masih muda, mungkin umurnya masih berkisar 25-an. Orang-orang mengerubungi mayat itu, belum ada yang berani menurunkannya sampai petugas datang. Jalanan yang terang akan cahaya lampu itu terasa kelam dan makin kelam. Namun, kekelaman itu justru menjadikannya ramai sekaligus macet. Bunyi klakson di sana-sini menghidupkan pesta perayaan setan, satu teman lagi telah berhasil diajak ke neraka.

Orang-orang mencoba menerka-nerka siapa gerangan orang yang mati itu. Tak satupun dari mereka mengenalinya. Dari bajunya yang kotor dan compang-camping itu, pastilah dia seorang gembel jalanan. Tetapi, rasa-rasanya hampir seluruh gembel di jalanan itu mereka kenali kecuali orang yang telah mati ini. Bahkan, semua gembel dan pengamen dijalan itu mengaku tak mengenal mayat itu. Jikalau benar dia seorang gembel, untuk apa pula dia bunuh diri. Toh dia hanya seorang gembel yang lama kelamaan juga mati kelaparan.

Dan yang paling membingungkan orang-orang itu adalah kapan orang itu menggantungkan dirinya di pinggir jalan raya yang begitu ramai tanpa ketahuan siapapun. Sebagian berpendapat bahwa dia menggantungkan diri ketika maghrib tiba, ketika orang-orang sibuk pulang dan suasana sedikit sepi. Sungguh perkara yang membingungkan.

Dalam keriuhan suasana itu, malam makin naik dan dengan segera menyuruh beberapa orang buat pulang walau dalam keadaan penasaran. Beberapa orang yang tinggal dan menonton mayat itu menjadi makin penasaran dan bertanya-tanya sesama mereka. Tiba-tiba seorang lelaki kurus berkemeja rapi datang ke kerumunan itu dengan tergopoh-gopoh.

“Petugas kota tak hendak datang,” katanya terengah-engah.

“Lho, kok bisa?” tanya seorang pengamen.

“Katanya petugas kota itu tugasnya buat melayani masyarakat, manusia hidup, bukan manusia mati,” jawab lelaki itu lagi.

“Lalu bagaimana sekarang?” Tanya yang lain, suasana menjadi sangat riuh oleh gumaman.

“Kita kuburkan saja mayat ini di pekuburan itu,” saran seorang bapak gemuk sambil menunjuk ke sebuah pekuburan tak jauh dari jalan itu.

"Kita tidak boleh sembarangan main kubur, kita harus tahu agamanya dulu,” ujar seorang lelaki tua.

“Lho, memang agama itu penting ya, Pak?” Tanya seorang anak jalanan.

“Ya penting dong, memangnya kamu nggak punya agama?”

Nggak tahu, Pak.”

“Jadi di KTP-mu?”

Nggak punya, rumah saja nggak punya, apalagi KTP. Memangnya agama untuk apa sih, Pak?

“Ya buat hiduplah, kalau kamu punya KTP, apa yang mau kamu isi? Kalau kamu nikah, bagaimana caranya? Kalau kamu mati, bagaimana cara dikuburkannya? Lagipula memang kamu nggak pernah berhari raya apa?”

“Oh!! Jadi, agama itu buat KTP, nikah, hari raya, sama mati saja ya, Pak?

“NgggYa memang untuk itu saja kayaknya, memangnya untuk apa lagi?”

“Mana saya tahu, kan nggak punya agama. Kalau begitu, apa sih agama yang bagus, Pak? Untuk di KTP nanti."

Pertanyaan anak jalanan itu tak terjawab karena mayat telah berhasil diturunkan dan perhatian teralihkan kepada si mayat.

“Baiklah saudara sekalian, kita tidak usah meributkan soal agama si mayat lagi. Ini darurat. Kita bersihkan saja mayat ini seadanya dan kita kuburkan tanpa ada doa-doa khusus. Toh, mayat ini pun telah dulunya mengingkari agamanya karena telah bunuh diri,” kata seorang lelaki berkaos biru menengahi segala perdebatan tentang mayat tersebut.

Orang-orang mengangguk setuju dan segeralah mayat tersebut digotong beramai-ramai ke pekuburan, dibersihkan seadanya dengan air yang diambil dari masjid sebelah pekuburan dan dikubur dalam sebuah galian tanah di pinggir pekuburan itu. Dua buah batu bata yang telah pecah dipancangkan di atas dan bawah kuburannya sebagai batu nisan, tak ada ukiran apapun pada batu bata tersebut.  

Malam terus naik, orang-orang yang menguburkan mayat itu segera membereskan diri ketika tiba-tiba terdengar suara aneh secara samar-samar di sekitar mereka.

“Kruuk…Kruuk…” Begitulah suaranya, terdengar mengalun seperti bunyi perut lapar.

“Syuut!! Diamlah sebentar! Dengarkan ada bunyi yang aneh!” Kata seorang lelaki tua dan secara serentak orang-orang itu diam.

“Kruuk…Kruuk…”

“Wah! Kayaknya itu bunyi perutku, Pak! Maklum dari tadi pagi belum makan,” kata seorang gembel sambil tersenyum malu.

“Ah!! Bikin kaget saja! Kirain hantu.” Begitulah rata-rata celoteh dari kerumunan orang itu.

Akhirnya mereka pun bubar dan melupakan perkara mayat itu.

Besoknya, perkara mayat itu telah benar-benar dilupakan seluruh warga kota. Tak ada satu koran pun yang membahasnya, bahkan koran yang paling murah sekalipun. Para redaktur koran mengaku mereka sudah tak ada tempat lagi buat meletakkan berita si mayat karena seluruh kolom terisi penuh dengan berita korupsi dan perebutan kekuasaan yang sedang digemari warga kota. Dan segala pertanyaan, siapa si mayat dulunya? Kenapa dia bunuh diri? Hanyalah menjadi gurauan peminum tuak saja.

Namun, nyatanya warga tampaknya tidak dibiarkan hidup tentram sebelum dapat menjawab perkara si mayat. Pasalnya seluruh warga kota dihantui oleh bunyi perut lapar,  Kruuk…Kruuk…” Baik itu di jalan, di kamar, di ruang tamu, maupun di WC. Dan warga yang paling terganggu adalah warga kalangan atas yang jumlah sekitar 20% dari warga kota karena suara itu terdengar jelas di telinga mereka. Sedang warga miskin dan gembel yang jumlahnya melimpah itu merasa tak terganggu karena mereka selalu mengira bahwa bunyi perut lapar itu berasal dari perut mereka sendiri yang memang selalu kelaparan.

Hal yang lebih memperparah keadaan adalah tingginya angka kecelakaan di sekitar lokasi bunuh diri. Usut punya usut ternyata kecelakaan terjadi akibat para pengendara mobil pribadi menjadi tidak konsentrasi dalam menyetir saat mendengar bunyi perut lapar tersebut.

“Ini pasti karena si mayat menuntut balas atas kematiannya!” Kata seorang pemilik hotel dengan berapi-api di sebuah kafe. Dia telah mengalami kerugian yang cukup parah akibat sedikitnya orang yang berkunjung ke hotelnya yang terletak tepat di pinggir jalan lokasi bunuh diri. Itu karena para pengunjung merasa sangat terganggu aktivitasnya di kamar hotel akibat bunyi tersebut. “Kalau bunyi calling hp dari istri bisa kudiamkan, tetapi bunyi yang ini sangat mengganggu,” aku seorang pengunjung hotel.  

Kembali ke diskusi di kafe.

“Mungkin saja dia tidak bunuh diri, tetapi dibunuh!” Sahut salah seorang warga.

“Kita harus meminta walikota untuk menyelidikinya!”

“Setujuuuuu!!!!”

Malang nian nasib mereka, nyatanya Pak Walikota berkata dengan tegas bahwa dia tak akan mengadakan penyelidikan khusus buat si mayat karena tak ada biaya. Semua biaya habis buat mengusut kasus korupsi yang tak kunjung selesai. Toh yang merasa sangat terganggu hanya segelintir orang. Dia sendiri walau diganggu juga tetap merasa tak begitu terganggu. Dia menyuruh orang-orang itu untuk lebih mempertebal ketahanan hati mereka.

Maka, kecewalah orang-orang itu, terutama si pemilik hotel. Namun, dia tak habis akal, dengan segala modal yang masih tersisa dia menyogok banyak orang miskin buat berunjuk rasa ke kantor walikota. Jadilah unjuk rasa tersebut, orang berbondong-bondong datang ke kantor walikota, mereka semua membawa spanduk putih bertuliskan “Temukan Pembunuh Si Mayat!” dengan tinta merah. Selain itu mereka membawa bendera bertuliskan “Kejujuran!”, dan untuk melengkapi segala atribut tersebut mereka pun memakai ikat kepala bertuliskan “Jujur atau Mati!”.

Pada awalnya, Pak Walikota menganggap unjuk rasa tersebut sebagai sikap biasa dari warga yang demokratis. Tetapi, ini menjadi tidak lazim karena sudah tiga hari tiga malam mereka berunjuk rasa. Akhirnya dengan berat hati, Pak Walikota pun menyewa seorang detektif dari luar kota.

“Tak ada barang bukti? Tak ada otopsi jenazah? Tak ada apapun?” Tanya detektif tersebut dengan kaget ketika tiba di kantor walikota untuk mengambil berkas perkara. Tiba-tiba dia menyesal telah menerima tugas ini walau separuh uang telah diterimanya.

“Memang tidak ada. Tetapi kamu harus menyelesaikan tugas ini! Saya telah menjual mobil dinas saya buat membayar kamu!” Kata Pak Walikota tegas.

Si detektif menjadi lemas. Namun, tiba-tiba dia teringat kepada Tuhan. Maka, dia pun segeralah pulang ke kos-nya dan berdoa.

Tiga hari tiga malam sudah  si detektif berdoa buat menemukan kebenaran dari perkara ini. Suatu malam si detektif bermimpi melihat seorang lelaki, mukanya hitam dan makin hitam, bajunya koyak-koyak, tedapat pula beberapa bekas cambukan di sekujur tubuhnya. Seketika dia teringat akan perkara si mayat.

“Kamu si mayat?” Tanyanya. Lelaki itu mengangguk.

“Kenapa kamu menakuti warga?”

“Aku?! Aku tidak menakuti, mereka sendiri yang ketakutan!”

“Kenapa kamu bunuh diri?”

“Aku tidak bunuh diri! Aku dibunuh!”

“Jadi siapa yang menggantungkan kamu di pohon itu?”

“Ya aku sendiri!”

“Itu namanya kamu bunuh diri!”

“Bukan! Aku dibunuh, ditipu dan dibunuh! Pokoknya aku dibunuh dahulu sebelum bunuh diri!”

Si detektif mulai kesal dengan lelaki itu, “Orang ini, sudah mati pun menyusahkan!” Pikirnya. Tetapi, perkara ini harus selesai, maka dia pun menyabarkan diri dan mulai mengajak berunding lelaki itu.

“Baiklah, aku mengerti maksudmu. Coba sekarang jelaskan padaku perkaramu!”

Lelaki itu nampak berpikir. “Begini…Emmm..Bagaimana ya? Aku mulai dari mana?”

“Terserah kamu!”

“Baiknya aku bilang saja sama kamu yang telah menipuku dan membunuhku, ya pembunuh gembel sepertiku, Eh…Bukan…Bukan hanya gembel…Sini kubisiki!” kata lelaki itu.

Si detektif tampak enggan mendekatinya, maka dia pun menerka jawaban lelaki itu, “Rasa lapar!” Tetapi, lelaki itu menggeleng.

Lalu lelaki itu pun mendekati si detektif dengan cepat dan membisikkan sesuatu. Si detektif sangat terkejut mendengar pengakuan lelaki itu. Dia menatap sang lelaki dengan pandangan penuh rasa tidak percaya.

“Aku serius, aku baru tahu setelah mati. Dan banyak lagi yang telah mati sebelum mati.”

“Ok…Ok…Aku percaya, sekarang bisakah kau menghentikan terormu?”

“Kau bercanda?! Kenapa meminta kepadaku! Mintalah kepada Tuhan!”

Si detektif pun terbangun dengan keringat bercucuran, dia merasa sangat berdosa karena tadi telah lalai akan Tuhan dan malah meminta pada makhluk yang lemah. Walau hanya dalam mimpi, si detektif merasa telah mengkhianati Tuhan padahal seharusnya dia bersyukur telah diberi jawaban atas masalah ini. Dia pun langsung bersujud memohon ampun sekaligus mengucap syukur sedalam-dalamnya. Besok dia harus menceritakan hal ini kepada Pak Walikota, selesailah semua tugasnya.

Demi mendengar segala cerita si detektif, Pak Walikota menahan tawanya dengan sangat hingga pipinya menggembung dan matanya hampir keluar, persis seperti ikan mas.

“Saya serius, Pak,” kata si detektif dengan muka berkerut.

Pak Walikota masih tertawa terbahak-bahak ketika sekretarisnya datang. “Pak, massa sudah sangat tidak sabar. Mereka sudah mendobrak masuk dan mengancam akan merusakkan kantor jika Bapak tidak segera memberi keterangan,” lapor sekretaris itu.

Karena merasa sudah putus asa, maka Pak Walikota pun segera keluar untuk berpidato sesuai penemuan si detektif.

“Baiklah, warga sekalian. Segala perkara telah jelas. Setelah penyelidikan berhari-hari oleh detektif terkenal yang sengaja saya sewa dari luar kota. Akhirnya diperoleh suatu kebenaran. Bahwa si mayat memanglah gembel biasa, dia menggantungkan diri di pohon itu karena dia mengaku ditipu dan  dibunuh sebelum dia bunuh diri. Demikianlah faktanya. Mengenai suara-suara itu, sebaiknya kita bersama-sama berdoa kepada Tuhan untuk menghilangkannya karena Dia-lah yang Maha Kuasa, si mayat tidaklah kuasa menimbulkan suara seperti itu.”

“Yah!!!!” Teriak para demonstran kecewa.

“Baiklah Pak Walikota. Dapatkah Anda katakan siapa penipu gembel itu? Kiranya kita dapat mengantisipasinya agar kejadian serupa tidak terulang,” kata salah seorang demonstran.

“Baiklah, saudara-saudara. Menurut penyelidikan, penipunya adalah dunia.”  

                                                                                                                                       Medan, Juli 2011

Comments