Niat untuk melanjutkan kuliah sudah menetap di hatiku sejak aku lulus kuliah (dan belum mendapat pekerjaan yang cocok). Kala itu aku yang sudah bersemangat untuk melanjutkan hidup sebagai guru ternyata harus memedam keinginanku itu karena ketiadaan kuliah Akta IV di kotaku. Sehingga jika aku memang ingin mendapatkan ilmu keguruan maka aku harus melanjutkan kuliah untuk mendapatkan gelar S.Pd. Kuliahnya sendiri mungkin akan memakan waktu lebih dari setahun. Aku pun berpikir bahwa jika demikian keadaannya mengapa pula aku tidak sekalian saja meneruskan kuliahku ke jenjang S2, toh sama-sama memakan waktu dua tahun.
Akhirnya, aku pun memutuskan untuk mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliahku ke jenjang S2. Semangatku pun terus dibakar dengan berbagai motivasi dari Pak Gea dan istrinya, Bu Mutia yang baru saja menyelesaikan pendidikan mereka di Inggris. Mereka terus saja menceritakan pengalaman-pengalaman mereka selama berada di Inggris tentang betapa manisnya pendidikan di luar negeri. Mataku pun bersinar-sinar mendengar cerita mereka. Aku yang semasa kuliah merasa sangat kurang puas dengan ilmu yang kudapat (maaf aku harus jujur), terutama karena sistem-sistem administrasi yang menurutku terlalu ribet dan sebenarnya sangat tidak efektif, akhirnya memutuskan di dalam diriku sendiri bahwa aku harus kuliah lagi.
Pak Gea berulang kali memberikan brosur beasiswa kepadaku, sayangnya beasiswa tersebut hanya tersedia untuk para akademisi di universitas. Bahkan, beliau pernah mencoba mandaftarkanku menjadi salah satu staf pengajar di universitas swasta, namun gagal karena statusku yang masih S1. Saat itu, aku tetap bersemangat, rezeki pasti datang dari arah yang tidak disangka-sangka.
Apapun yang terjadi, aku pun tetap bertekad untuk kuliah lagi, dimana pun itu dan bagaimana pun caranya. Aku mulai menyusun strategi untuk mencapai cita-citaku itu. Strategi pertama tentu saja dengan mencari informasi beasiswa sebanyak-banyaknya di internet. Aku juga men-subscribe beberapa situs penyedia informasi beasiswa. Selanjutnya, aku melihat bahwa hal yang dibutuhkan adalah sertifikat kemampuan bahasa Inggris. Aku pun mulai menelusuri harga tes bahasa Inggris berupa TOEFL di kotaku, kisarannya 400 ribuan ke atas (ITP). Aku segera memutuskan untuk mulai menabung, itu artinya aku harus bekerja ekstra. Selain itu kebutuhan akan hidup sehari-hari memaksaku untuk melamar pekerjaan lain selain sebagai pengajar les privat: Tentu saja aku tetap memilih jalur pekerjaan guru.
Alhamdulillah, sebuah sekolah Islam yang bergengsi di kotaku menerimaku sebagai guru (IFDS Siti Hajar Medan). Aku memilih sekolah ini karena dari website mereka yang kubaca, mereka sangat mendukung pengembangan potensi guru, terutama juga dalam Bahasa Inggris. Aku semakin bersemangat menjadi guru di sana. Benarlah, di sekolah ini setidaknya seminggu sekali akan diadakan diskusi guru dalam Bahasa Inggris, bahkan rapat juga dalam Bahasa Inggris.
Pak Ari sebagai direktur Siti Hajar juga sangat menekankan pentingnya berbahasa Inggris dan mengenal budaya luar. Guru-guru bahkan disubsidi untuk ke luar negeri demi praktek Bahasa Inggris hingga negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand sudah kami jelajahi. Selain itu, beberapa kali juga diadakan tes TOEFL di sekolah tersebut demi peningkatan kemampuan guru dalam ber-Bahasa Inggris.
Semangatku pun makin membara hingga pada suatu saat, aku melihat seniorku mem-posting sesuatu di timeline FB nya, sesuatu yang mengantarkanku ke Taiwan. Aku masih ingat saat itu, suasana senja di Simpang Pos yang macet. Angkotku terjebak macet, aku pun segera mengalihkan perhatianku ke handphone, membuka FB, mencari informasi-informasi yang mungkin berguna. Perhatianku tiba-tiba terfokus dengan postingan seniorku, Bang Mula Sigiro (beliau sangat terkenal di kampusku dulu karena kepintaran dan semangatnya). Dia memposting cuplikan sebuah judul paper yang memuat namanya sebagai penulis pertama artikel paper tersebut. Demi melihat postingan tersebut, aku pun menjadi sangat terpesona, terutama karena salah satu cita-citaku adalah menjadi penulis paper. Tanpa pikir panjang aku pun mengetikkan komentar pada postingan Bang Mula, "Gimana caranya ya bang untuk daftar beasiswa di Taiwan?" dan satu komentar tersebut adalah sebuah langkah perubahan yang tak kusangka-sangka.
Bang Mula yang sedang mewujudkan mimpinya untuk membantu orang-orang melanjutkan pendidikan tinggi (S2 dan S3) dengan motto: Mewujudkan 15000 PhD di Sumatera Utara pun langsung mengirimkan pesan pribadi kepadaku. "Seriusnya kau, dek?" begitulah pesan singkatnya saat itu, dan singkat cerita aku pun mengikuti paduan yang diberikan Bang Mula. Beliau memberikanku beberapa contoh berkas yang harus kulengkapi: CV, surat rekomendasi dan study plan. Yang membuatku terharu sekaligus malu terhadap diri sendiri adalah ketidakfokusanku terhadap komitmen sendiri, aku mengakui bahwa itu bukan hanya soal pekerjaan yang berlimpah tetapi karena keteguhanku yang mudah tumbang. Namun, Bang Mula mengirimkan pesan menanyakan proses pembuatan berkas yang kujalani setelah dua bulan berlalu tanpa ada kemajuan. Saat itu, justru aku meminta maaf pada Bang Mula karena telah lalai dalam menyiapkan berkas, padahal seharusnya aku meminta maaf pada diri sendiri, karena jika pun aku sukses maka itu adalah bagian dari hidupku sendiri, terlepas dari mimpi Bang Mula.
Akhirnya, Allah memudahkanku dalam pengiriman berkas, surat rekomendasi kudapatkan dari Pak Muhammad Syukur (Dosen Fisika USU; dengan dibantu Riki Fis 2010) dan Pak Saharman Gea (Dosen Kimia USU), untuk beberapa hal berkenaan dengan rekening koran, aku bertanya pada Bang Buntora Pasaribu (salah satu tokoh yang kukagumi juga) yang kebetulan sedang kuliah di National Chung Hsing University (NCHU) saat itu. Hingga aku dapat lulus dan mendapatkan LoA dari NCHU.
Tetapi, ada satu masalah: Ketika aku sudah mengundurkan diri dari IFDS Siti Hajar, justru aku tidak lulus Tes Kesehatan di salah satu klinik resmi untuk tes kesehatan pengurusan VISA Taiwan (Akibat dulu aku pernah sakit TBC, padahal sudah sembuh), hingga kemungkinan aku untuk berangkat sangat kecil. Ada banyak support yang kudapatkan, yaitu dari sahabat-sahabatku Bu Iin yang bahkan menemaniku untuk 'melabrak' klinik tersebut, juga Bu Ria dimana aku suka curhat masalah ini dan menemaniku tes, sampai tetanggaku yang dulu pernah bekerja di sana menemaniku untuk bernegosiasi. Aku bahkan sudah konsultasi ke dokter paru-paru. Hasilnya NIHIL, klinik itu benar-benar 'rumit'. Aku sudah hampir menyerah, tetapi.....
Jika Allah menghendaki, apapun akan terjadi. Agen yang membantuku mengurus VISA Taiwan di TETO Jakarta bernegosiasi dengan pihak TETO dan menyarankanku untuk mencoba di Rumah Sakit lain, aku pun mencari di Google, rumah sakit yang biasanya menyediakan tes kesehatan untuk TKI, dan aku pun mendapati Rumah Sakit Deli Medan, dokter-dokternya sangat baik hingga aku lolos tes kesehatan dan VISA-ku keluar. Alhamdulillah! Bye-Bye Klinik Rumit! (Sampai sekarang aku sering bercanda dengan Bu Iin mengenai klinik ini)
Dengan bantuan Pak Siddik, aku membeli tiket dan berangkat bersama teman-teman lain yang juga dipertemukan Bang Mula di FB Chat, yaitu Tri, Kak Herta, Zetro (berangkat dari Kualanamu Medan), Kak Sara dan Kak Ana (Berangkat dari Jakarta). Aku juga janjian ketemu di bandara dengan calon mahasiswa lain dari Jawa: Bukky dan Umam. Di Bandara kami semua dijemput oleh Bang Buntora yang super baik.
Tetapi, tak seru rasanya kalau tidak ada insiden luar biasa. Tas ranselku yang kumasukkan di bagasi: HILANG, untungnya dibantu dengan Tri men-chat Bang Buntora dalam menanyakan nomor handphone-nya untuk mendaftarkan barang hilang, hingga keesokan harinya Bang Buntora mengantarkan tas-ku.
Sepanjang perjalanan ini, aku merasa banyak dibantu orang dengan pertolongan Allah. Tanpa pertolongan Allah, diri ini tidak ada apa-apanya. Dan senantiasa aku mengingat orang-orang baik yang pernah hadir di kehidupanku.
Bang Mula yang sedang mewujudkan mimpinya untuk membantu orang-orang melanjutkan pendidikan tinggi (S2 dan S3) dengan motto: Mewujudkan 15000 PhD di Sumatera Utara pun langsung mengirimkan pesan pribadi kepadaku. "Seriusnya kau, dek?" begitulah pesan singkatnya saat itu, dan singkat cerita aku pun mengikuti paduan yang diberikan Bang Mula. Beliau memberikanku beberapa contoh berkas yang harus kulengkapi: CV, surat rekomendasi dan study plan. Yang membuatku terharu sekaligus malu terhadap diri sendiri adalah ketidakfokusanku terhadap komitmen sendiri, aku mengakui bahwa itu bukan hanya soal pekerjaan yang berlimpah tetapi karena keteguhanku yang mudah tumbang. Namun, Bang Mula mengirimkan pesan menanyakan proses pembuatan berkas yang kujalani setelah dua bulan berlalu tanpa ada kemajuan. Saat itu, justru aku meminta maaf pada Bang Mula karena telah lalai dalam menyiapkan berkas, padahal seharusnya aku meminta maaf pada diri sendiri, karena jika pun aku sukses maka itu adalah bagian dari hidupku sendiri, terlepas dari mimpi Bang Mula.
Akhirnya, Allah memudahkanku dalam pengiriman berkas, surat rekomendasi kudapatkan dari Pak Muhammad Syukur (Dosen Fisika USU; dengan dibantu Riki Fis 2010) dan Pak Saharman Gea (Dosen Kimia USU), untuk beberapa hal berkenaan dengan rekening koran, aku bertanya pada Bang Buntora Pasaribu (salah satu tokoh yang kukagumi juga) yang kebetulan sedang kuliah di National Chung Hsing University (NCHU) saat itu. Hingga aku dapat lulus dan mendapatkan LoA dari NCHU.
Tetapi, ada satu masalah: Ketika aku sudah mengundurkan diri dari IFDS Siti Hajar, justru aku tidak lulus Tes Kesehatan di salah satu klinik resmi untuk tes kesehatan pengurusan VISA Taiwan (Akibat dulu aku pernah sakit TBC, padahal sudah sembuh), hingga kemungkinan aku untuk berangkat sangat kecil. Ada banyak support yang kudapatkan, yaitu dari sahabat-sahabatku Bu Iin yang bahkan menemaniku untuk 'melabrak' klinik tersebut, juga Bu Ria dimana aku suka curhat masalah ini dan menemaniku tes, sampai tetanggaku yang dulu pernah bekerja di sana menemaniku untuk bernegosiasi. Aku bahkan sudah konsultasi ke dokter paru-paru. Hasilnya NIHIL, klinik itu benar-benar 'rumit'. Aku sudah hampir menyerah, tetapi.....
Jika Allah menghendaki, apapun akan terjadi. Agen yang membantuku mengurus VISA Taiwan di TETO Jakarta bernegosiasi dengan pihak TETO dan menyarankanku untuk mencoba di Rumah Sakit lain, aku pun mencari di Google, rumah sakit yang biasanya menyediakan tes kesehatan untuk TKI, dan aku pun mendapati Rumah Sakit Deli Medan, dokter-dokternya sangat baik hingga aku lolos tes kesehatan dan VISA-ku keluar. Alhamdulillah! Bye-Bye Klinik Rumit! (Sampai sekarang aku sering bercanda dengan Bu Iin mengenai klinik ini)
Dengan bantuan Pak Siddik, aku membeli tiket dan berangkat bersama teman-teman lain yang juga dipertemukan Bang Mula di FB Chat, yaitu Tri, Kak Herta, Zetro (berangkat dari Kualanamu Medan), Kak Sara dan Kak Ana (Berangkat dari Jakarta). Aku juga janjian ketemu di bandara dengan calon mahasiswa lain dari Jawa: Bukky dan Umam. Di Bandara kami semua dijemput oleh Bang Buntora yang super baik.
Tetapi, tak seru rasanya kalau tidak ada insiden luar biasa. Tas ranselku yang kumasukkan di bagasi: HILANG, untungnya dibantu dengan Tri men-chat Bang Buntora dalam menanyakan nomor handphone-nya untuk mendaftarkan barang hilang, hingga keesokan harinya Bang Buntora mengantarkan tas-ku.
Sepanjang perjalanan ini, aku merasa banyak dibantu orang dengan pertolongan Allah. Tanpa pertolongan Allah, diri ini tidak ada apa-apanya. Dan senantiasa aku mengingat orang-orang baik yang pernah hadir di kehidupanku.
Jadi pengen ngeBlog lagi kalau baca ginian buu hahaa.. terakhir SMP. Dah 2 akunablog yg lupa password nya. :D
ReplyDeleteBtw Aku suka baca buku jg buku tp genre: self improvement.
wah bagus tuh, yuk nge-blog lagi, hehehe, ibu tunggu ya blog-nya
Delete