Buku ini sebenarnya adalah kumpulan ceramah dari Emha Ainun Najib (Cak Nun) yang dipilih dengan tema hakikat ajaran Islam yang sebenarnya luwes. Buku dengan tebal 238 dari Naura Publishing ini disajikan memang dengan bahasa ceramah. Awalnya saya tertarik untuk membaca buku Cak Nun ini karena mendengar ceramah beliau melalui Youtube pada zaman kampanye Pemilu 2019. Pada saat itu, saya sangat tertarik dengan cara berpikir beliau yang disampaikan dengan bahasa yang 'merakyat' begitu juga dengan yang dituliskan di dalam buku ini.
Ketika mulai membuka halaman pertama, beliau menyuguhkan sebuah analogi sederhana bahwa manusia itu harus bertawakkal kepada Allah: berusaha terlebih dahulu dan dibarengi dengan doa serta menyerahkan hasil usaha tersebut kepada Allah SWT. Bahasa yang beliau gunakan sebenarnya sangat sederhana, tetapi maknanya dalam. Dan bagi saya sendiri, setelah membaca halaman tersebut, saya tergugah untuk melakukan usaha lebih atas apa yang belum didapatkan. Padahal ada banyak ceramah tentang tawakkal yang sudah saya dengar, namun entah kenapa pengandaian sederhana yang beliau buat membuat saya tergugah. Kutipan yang ingin saya catatkan di sini yaitu: "Yang penting kita benar-benar niat berbuat dan melakukan sesuatu, tidak diam saja. Siapa tahu dengan sesuatu yang kita lakukan itu, muncul jalan untuk bertemu seseorang yang diutus Allah untuk menyampaikan rezeki."
Dalam buku ini, beliau juga menitikberatkan untuk memperkuat persatuan dan menghindari perdebatan untuk hal-hal yang tidak perlu didebatkan dengan keras. Hal ini sebenarnya merupakan bagian dari Hadist Rasulullah SAW yang meminta kita menjauhi perdebatan yang tidak penting. Kita boleh saja ikut NU, Muhammadiyah, dll dalam koridor Islam; tetapi intinya adalah Fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Kutipan yang saya ambil di sini, "Al-Qur'an diturunkan Allah bukan menyuruh kita untuk mengukur mana yang lebih benar. Ukuran benar-salah itu berlaku antara Anda dan Gusti Allah. Kalau antara manusia, ukurannya baik dan buruk". Kutipan lain yang saya bagikan juga di status whatssap saya yaitu, "Kebenaran anda tidak bisa menunjukkan kebenaran sesungguhnya (sejati). Maka, jangan anda mempertengkarkan kebenaran. Kebenaran letaknya pada diri kita, output dari kebenaran adalah kasih sayang dan akhlak yang baik"; ibaratnya kebenaran itu dapur, tetapi yang disuguhkan adalah makanannya. Jika dapurnya bersih, lengkap, benar cara memasaknya maka makanan sebagai outputnya pun nikmat, halal dan thayyib, begitu analoginya.
Terutama dalam masa kampanye kemarin, beliau mengedepankan pandangan nasionalisme yang berbeda, yang mungkin memang seharusnya demikian, beliau mengemukakan bahwa nasionalisme terhadap Indonesia adalah kita berbuat terbaik yang dapat kita jangkau saja, misal jika yang dapat kita jangkau adalah memperbaiki diri dan meningkatkan prestasi diri, ya itu sudah termasuk nasionalisme, jika yang bisa dijangkau adalah keluarga dan tetangga, dengan membantu mereka, ya itu sudah termasuk nasionalisme; intinya sejauh mana 'action' kita memperbaiki negara ini dapat terlaksana. Kita memang jangan terlalu memikirkan yang bukan menjadi tugas kita, urusan negara secara makro memang urusan pemerintah, mereka sudah digaji untuk mengatur negara ini ke arah yang lebih baik, tugas kita ya kita laksanakan apa fungsi kita di masyarakat saja sebaik-baiknya, kembali lagi Islam itu rahmatan lil 'alamin dan fastabiqul khairat. Saya entah mengapa sangat setuju dengan cara pandang demikian, bukan maksudnya apatis terhadap negara ini ya dan saya juga tidak tahu yang ada sekarang ini 'pemerintah' atau 'penguasa wanna be'; yang jelas, tetap awas dan Fastabiqul Khairat, saya tidak mau lagi memikirkan hal yang seharusnya begini dan begitu (hal ini yang dulu sering saya lakukan), tetapi fokus berbuat yang terbaik untuk fungsi saya di masyarakat, berdoa, Allah akan memberi jalan agar negara ini berubah: tidak ada perubahan sebesar 0.01% pun jika kita yang satu orang tidak berubah.
Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal lain yang menggugah untuk ke arah lebih baik, misalkan analogi kasta (hal 146-148), tentang khilafah (173-175), tentang Nabi Muhammad, apakah benar secara hakikat Rasulullah berpoligami? (Hal 219-220, bagian ini diterangkan dengan sangat baik, saya sangat senang membacanya), analogi gelombang dan materialisme (51-60), menikmati misteri dengan bersyukur (60-67; bagian ini saya kutip untuk status IG saya). Dan masih banyak hal-hal yang perlu dibaca sendiri. Memang dalam membaca pun, kacamata yang kita gunakan sejatinya sudah harus pas, tidak buram, tidak kacamata plus, minus, atau silindris agar maknanya membuat kita semakin bertakwa kepada Allah SWT dan mencintai Rasulullah SAW.
Apakah saya berniat membaca ulang buku ini? Yes!
Terutama dalam masa kampanye kemarin, beliau mengedepankan pandangan nasionalisme yang berbeda, yang mungkin memang seharusnya demikian, beliau mengemukakan bahwa nasionalisme terhadap Indonesia adalah kita berbuat terbaik yang dapat kita jangkau saja, misal jika yang dapat kita jangkau adalah memperbaiki diri dan meningkatkan prestasi diri, ya itu sudah termasuk nasionalisme, jika yang bisa dijangkau adalah keluarga dan tetangga, dengan membantu mereka, ya itu sudah termasuk nasionalisme; intinya sejauh mana 'action' kita memperbaiki negara ini dapat terlaksana. Kita memang jangan terlalu memikirkan yang bukan menjadi tugas kita, urusan negara secara makro memang urusan pemerintah, mereka sudah digaji untuk mengatur negara ini ke arah yang lebih baik, tugas kita ya kita laksanakan apa fungsi kita di masyarakat saja sebaik-baiknya, kembali lagi Islam itu rahmatan lil 'alamin dan fastabiqul khairat. Saya entah mengapa sangat setuju dengan cara pandang demikian, bukan maksudnya apatis terhadap negara ini ya dan saya juga tidak tahu yang ada sekarang ini 'pemerintah' atau 'penguasa wanna be'; yang jelas, tetap awas dan Fastabiqul Khairat, saya tidak mau lagi memikirkan hal yang seharusnya begini dan begitu (hal ini yang dulu sering saya lakukan), tetapi fokus berbuat yang terbaik untuk fungsi saya di masyarakat, berdoa, Allah akan memberi jalan agar negara ini berubah: tidak ada perubahan sebesar 0.01% pun jika kita yang satu orang tidak berubah.
Sebenarnya masih banyak lagi hal-hal lain yang menggugah untuk ke arah lebih baik, misalkan analogi kasta (hal 146-148), tentang khilafah (173-175), tentang Nabi Muhammad, apakah benar secara hakikat Rasulullah berpoligami? (Hal 219-220, bagian ini diterangkan dengan sangat baik, saya sangat senang membacanya), analogi gelombang dan materialisme (51-60), menikmati misteri dengan bersyukur (60-67; bagian ini saya kutip untuk status IG saya). Dan masih banyak hal-hal yang perlu dibaca sendiri. Memang dalam membaca pun, kacamata yang kita gunakan sejatinya sudah harus pas, tidak buram, tidak kacamata plus, minus, atau silindris agar maknanya membuat kita semakin bertakwa kepada Allah SWT dan mencintai Rasulullah SAW.
Apakah saya berniat membaca ulang buku ini? Yes!
Jadi kepincut pengen nyari bukunya gara2 baca review bu tari...😄
ReplyDeletehehehehe, boleh pinjam buku tari bu...tapi kita jauh ya...kalau ibu mau singgah untuk pinjam boleh bu...
Delete