Perjalananku dan Hong Phan di Pulau Samosir telah usai, kami harus segera beranjak menuju Parapat. Nyatanya kapal yang menuju Dermaga Tiga Raja cukup lama datang hingga aku pun sukses memfotokan temanku, penumpang lain, dan juga berbagai pemandangan di sekitar dermaga Tuk-Tuk kala sore hari. Hingga tak berapa lama, kapal pun datang.
Nelayan dan Danau Toba |
Satu hal yang menggelitik hatiku adalah pertanyaan retorik dari Hong Phan, "Siti, haruskah kita benar-benar memegang tangan kondektur kapal? Dia seperti ayahku saja yang menggenggam tanganku menuju pelaminan." Aku hanya bisa tersenyum, jujur saja aku tak pernah mengira bahwa Hong Phan juga akan merasa keberatan akan hal tersebut karena dia adalah seorang yang mengaku belum beragama. Ternyata, walaupun demikian dia memiliki etika yang sangat baik. Bagiku sendiri, tentu saja aku juga keberatan akan hal tersebut, namun tangga yang harus dilalui sangat curam hingga kami pun terpaksa memegang tangan kondektur kapal jika tak ingin terpeleset dan sukses terjatuh. Mungkin lain kali, teman-teman cewek yang ingin berjalan-jalan ke Pulau Samosir dapat membawa sarung tangan.
Ini dia salah satu desain kapal di Danau Toba |
Suasana di kapal menuju Dermaga Tiga Raja |
Di dalam kapal kami memilih tempat di bagian belakang bersama beberapa ibu-ibu yang sepertinya merupakan pengunjung Danau Toba yang berasal dari Pulau Jawa. Adegan tawar-menawar pun terjadi antara kondektur kapal dengan rombongan ibu-ibu tersebut. Salah seorang Ibu yang merupakan orang asli Parapat menawar habis-habisan dengan Bahasa Batak hingga aku merasa lucu dan tertawa. Sang kondektur yang mendapatiku tertawa lalu menyatakan bahwa dia terkejut mendapati diriku mampu memahami Bahasa Batak. Aku pun menjelaskan bahwa aku sebenarnya tak paham sama sekali dengan Bahasa Batak hanya saja aku tahu konteks pembicaraan saat itu berdasarkan tiket yang dipegang kondektur: Sang ibu menawar harga tiket mereka seharga tiket untuk sepeda motor, Rp.10.000,- sebagai bahan candaan. Tawar-menawar pun terjadi lagi. Akhirnya, rombongan ibu-ibu tersebut sukses mendapatkan diskon Rp.5000,-/tiket.
Hal lain yang juga menggelitik hatiku adalah kesalahpahaman sang kondektur yang menyangka bahwa aku adalah turis dari Malaysia, karena baginya aku sangat mirip orang Melayu (ditambah lagi dengan kehadiran Hong Phan). Walaupun dengan susah payah aku mengatakan bahwa aku adalah orang bersuku Jawa, sang kondektur masih percaya bahwa wajahku sangat Melayu, sama sekali tidak mirip orang Jawa. Dia pun melantunkan sebuah pantun gombalan yang sukses membuat otakku mengkhayal untuk menimpuk kepalanya dengan botol minuman yang kupegang.
Sesampainya di Dermaga Tiga Raja, kami bersiap-siap mencari mobil yang dapat membawa kami ke Kota Siantar. Perjalanan kami berikutnya memang Kota Siantar sebagai kota persinggahan sebelum mencapai Kota Medan. Syukurnya, seorang kondektur berteriak-teriak menyebutkan Kota Siantar hingga aku dan temanku dapat segera menuju ke Siantar. Saat itu memang sudah sangat sore, hampir mendekati maghrib hingga mobil yang kami tumpangi sepi penumpang. Hanya aku, temanku, dan seorang penumpang lain yang duduk di bagian depan bersama Bapak Supir.
Sepanjang jalan, aku mendengarkan perasaan Hong Phan mengenai perjalanan kami. Dia mengatakan bahwa dia merasa seperti diajak ke neraka ketika menaiki bus menuju Parapat yang memang sangat tidak layak jalan tersebut, tetapi semuanya terobati ketika mendapati keindahan Danau Toba dan Pulau Samosir. Aku hanya bisa tertawa dan mengatakan bahwa hal itu adalah hal yang sangat menarik untuk dapat dirasakannya.
Sang bapak supir pun tertarik untuk turut bercerita dengan kami, beliau dapat berbicara dengan Bahasa Inggris dengan sangat fasih karena beliau dulunya pernah bekerja pada sebuah perusahaan asing besar di daerah tersebut. Pembicaraan kami pun melenceng ke arah politik dalam negeri. Bapak tersebut menyatakan salut dengan Vietnam karena mereka terbilang 'baru saja' lepas dari penjajahan tetapi justru perkembangan mereka lebih cepat dari Indonesia yang sudah lebih dulu merdeka. Aku mengatakan bahwa walaupun demikian mereka itu negara komunis, nyatanya jawaban si bapak menyadarkanku akan suatu hal: Kita sebenarnya mengalami krisis kejatidirian. "Mereka memang komunis, tetapi jelas mereka komunis: sistemnya, masyarakatnya. Bagaimana dengan kita? Kita mengaku berideologi Pancasila yang menomorsatukan Ketuhanan, nyatanya orang Indonesia beragama hanya sekedar di KTP saja, banyak yang tidak paham agamanya sendiri. Orang-orang seperti itu adalah pembohong ulung: Jangankan membohongi orang lain, dirinya sendiri saja dibohonginya! Inilah yang membuat negara kita menjadi tidak jelas," kata beliau yang tidak bisa kubantah kebenarannya. Beliau pun menjelaskan pandangan beliau mengenai Pancasila dan bagaimana beliau menafsirkannya. Aku yang antara paham atau tidak hanya bisa mendengarkan saja.
Bapak tersebut sangat ramah hingga tak sadar kami telah sampai di hotel yang telah kami booking sebelumnya. Selepas berbenah di kamar kami pun memutuskan untuk berjalan-jalan ke luar mencari makan malam. Suasana daerah hotel tersebut sangat kusuka: tidak begitu ramai, trotoarnya dapat dipakai karena tak ada pedagang kaki lima yang kelewatan batas, dan jalanannya cukup bersih juga. Akhirnya kami pun sampai di daerah semacam night market yang dipenuhi orang-orang yang berjualan makanan. Tentu saja pilihanku jatuh kepada martabak telur yang sangat menggoda dari kejauhan.
Jejeran penjual makanan di daerah tersebut |
Kami pun bersepakat untuk menyebrang karena Hong Phan juga ingin mencicipi kopi di sebuah kedai kopi yang letaknya bersebrangan dengan tempat kami berdiri. Menyebrang adalah hal yang cukup kubenci di Kota Medan, dan sekarang aku lebih membencinya lagi karena kendaraan bermotornya sangat ramai dan serasa tanpa henti. Hong Phan yang paham akan ketidakmampuanku dalam menyebrang pun mengatakan, "Kita tinggal nyebrang saja kan seperti di Vietnam." Dia pun memegang tanganku dan ingin segera menarikku untuk menyebrang, tapi kutahan karena aku ragu akan keselamatan kami berdua. Hingga akhirnya, seorang bapak (kurasa adalah salah seorang bapak tukang becak) menyebrangkan kami. Hatiku sangat terharu dan merasa hangat, seingatku bertahun-tahun aku hidup di Kota Medan tak ada yang pernah dengan berbaik hati menawarkan bantuan untuk menyebrang di jalan yang padat kendaraan. Dan aku bersyukur di Kota Siantar, ada yang menawarkan bantuan seperti itu. Aku tak tahu apakah itu terjadi karena kami terlihat seperti turis? Apapun itu, perilaku bapak tersebut perlu mendapat pujian.
Martabak telurnya sangat spesial, jenisnya adalah martabak dengan adonan di dalam (bukan adonan di luar seperti martabak Mesir, Bangka, atau martabak di pulau Jawa) dan telurnya dicampur dengan kentang rebus yang diserut. Lagi-lagi Hong Phan terkejut mendapati cabai kecil di piring martabak kami. Selama proses pembuatan martabak, Hong Phan pun merekamnya.
Martabak telur dari Kota Siantar |
Teh susu ini lebih cocok disebut susu saja |
Minuman yang kupilih saat itu adalah teh susu yang lebih layak disebut susu saja karena rasa tehnya dikalahkan dengan rasa susu kental manis. Sedangkan Hong Phan menyicipi kopi capucino instan sehingga dia merasa rasa kopinya tidak senikmat kopi Vietnam yang biasa diminumnya. Malam itu pun kami habiskan dengan makan martabak di kedai kopi tersebut.
Paginya, kami sudah bersiap untuk pulang ke Medan. Untuk menuju Medan, kami berencana mengambil transportasi Mobil Paradep yang letaknya tak begitu jauh dari hotel, cukup naik angkot selama sekitar 7 menit dengan ongkos Rp.3.000,-. Awalnya aku ingin berjalan kaki saja bersama Hong Phan, tetapi seorang pegawai hotel yang baru datang memperhatikan kami yang terlihat kebingungan dan menawarkan bantuan untuk menyetopkan angkot. Awalnya aku menolak karena tetap ingin berjalan saja, tetapi akhirnya karena dia bersikeras membantu, aku pun menerimanya. Aku merasa pegawai ini juga sangat baik, tiba-tiba aku merasa orang-orang di kota ini sangat baik. Apa mungkin karena kami terlihat seperti turis? Apapun alasannya, tetap saja mereka adalah orang baik.
Sesampainya di lokasi Bus Paradep, asap rokok kembali memenuhi setiap tempat. Sejujurnya aku sungguh kesal dengan orang-orang yang suka merokok di tempat umum, namun di sisi lain aku juga tak berani menegur, apalagi jika yang merokok adalah bapak-bapak yang mungkin berat badannya adalah dua kali berat badanku. Aku selalu merasa bahwa baik di kotaku, di kapal, dan di kota ini untuk bernafas dengan oksigen saja susah sehingga harus rela bernafas dengan racun, sungguh mengesalkan. Hong Phan yang juga merasa tidak nyaman dengan asap rokok mengatakan kepadaku bahwa dia menyadari satu hal yang menyebabkan banyak orang-orang di Sumatera Utara ini merokok, yaitu banyaknya iklan rokok. Aku terkejut dengan pernyataannya, aku tak menyangka bahwa dia menganalisis hal tersebut. Memang benar iklan rokok memang menguasai berbagai sudut daerah ini. Hal lain yang membuatku lebih terkejut lagi adalah pernyataannya bahwa iklan rokok itu terlarang di Vietnam hingga tak banyak orang merokok di sana dan adanya peraturan yang tegas terhadap perilaku merokok di tempat umum, Masya Allah! Sungguh malu kita sebagai bangsa Indonesia yang 'katanya' menomorsatukan Konsep Ketuhanan. Justru negara yang mengaku komunis yang perilakunya lebih seperti orang yang bertuhan. Kita benar-benar harus instropeksi diri.
Hal lain yang mengesalkan lagi adalah sikap para lelaki yang mau menang sendiri dan tidak mendahulukan wanita. Bayangkan saja, para lelaki itu berebut terlebih dahulu untuk masuk ke mobil demi mendapat kenyamanan tempat duduk, padahal ada seorang ibu yang sudah tua di situ! Untungnya sang supir menegur mereka agar mendahulukan para wanita dan menyuruh mereka untuk duduk di belakang. Aku yang juga harus mengalah untuk turut duduk di belakang kembali naik pitam karena seorang bapak yang mungkin mengalami disabilitas otak tidak mau berpindah tempat denganku hingga aku harus duduk diantara dua lelaki! Memangnya aku wanita apaan!!! Aku pun meminta lelaki yang satunya agar berpindah dan menempatkanku di pinggir bukan di tengah, untungnya dia bersedia. Sungguh mengenaskan etika para lelaki tersebut!
Hong Phan yang melihat hal tersebut kemudian menghiburku dan aku merasa malu dengan kejadian tersebut. Dia mengatakan bahwa di negaranya hal tersebut tidak akan terjadi, bayangkan itu! Kembali lagi, negaranya adalah negara komunis (kebanyakan penduduknya juga atheis) tetapi kenapa justru etika para lelaki itu (yang aku yakin mereka tahu akan Pancasila) yang lebih pantas dikatakan sebagai orang dengan etika tak beragama?! Dia bertanya apakah pada saat SD hal tersebut tidak diajarkan oleh guru? Aku bilang aku sudah lupa, dia pun terkejut. Mungkin di situ letak kuncinya, apakah keluarga kita dan sekolah-sekolah kita benar-benar sudah mengajarkan etika-etika seperti itu? Kita terkadang hanya fokus dengan nilai kelulusan hingga lupa makna pendidikan yang sebenarnya.
Perjalanan kami telah selesai, Hong Phan akan menuju Yogyakarta untuk mendaki Gunung Merbabu sebelum ke Pulau Bali. Banyak hal yang kupelajari dari perjalanan ini. Aku teringat akan perkataan Muhammad Abduh, seorang ilmuan dan ulama Islam ketika berkunjung ke Eropa, "Aku melihat Islam di sini, tetapi aku tidak melihat muslim." Begitu juga dengan penyataan-pernyataan Hong Phan tentang negaranya, tak ada agama di sana, tetapi banyak etika beragama yang mereka lakukan. Orang Indonesia benar-benar harus intropeksi diri, kembali lagi memahami tentang agamanya dan memperbaiki etika.
Informasi:
Dari Dermaga Tiga Raja atau Ajibata akan ada banyak tersedia mobil yang melayani perjalanan ke Medan atau Siantar. Tidak perlu khawatir, para kondektur akan meneriakkan nama kota tujuan hingga kita dapat segera mendapatkan mobil yang dimaksud. Ongkos dari Parapat ke Siantar: Rp.20.000,-.
Comments
Post a Comment