Skip to main content

The Trip (090816): Menapaki Jiufen Old Street

Jiufen adalah suatu daerah pemukiman di perbukitan distrik Ruifang yang ditemukan pada masa Dinasti Qing dan berkembang pada masa pendudukan Jepang dikarenakan pertambangan emas di daerah ini. Daerah wisata yang terkenal adalah old street yang berada di Shuqi Road. Selain itu, beberapa daerah di sekitarnya juga merupakan daerah wisata yang terkenal, seperti gold museum dan gold waterfall. Dinamakan Jiufen karena pada zaman dahulu ada 9 keluarga yang tinggal di daerah tersebut. Bagi teman-teman yang senang berolahraga, maka Jiufen ini dapat menjadi destinasi wisata yang menarik, karena old street ini terletak di daerah perbukitan, jadi kita bisa berwisata sembari hiking.
Salah satu petunjuk jalan di Jiufen Old Street
Perjalanan kami di Jiufen pun dimulai. Setelah perjalanan yang menyenangkan di sekitar Shifen old street dan air terjun Shifen (baca disini), kami pun bergegas menuju kembali ke stasiun Ruifang dan mencari jalan ke Jiufen karena hostel yang kami booking berada di Jiufen, yaitu Kite Homestay. 

Seorang kakak dari Indonesia yang kebetulan lewat di stasiun Ruifang memberi tahu kami arah bus yang menuju Jiufen dengan ramahnya dan kami pun bergegas menuju terminal bus tersebut, sayangnya bus yang dimaksud sudah penuh sehingga kami harus menunggu bus berikutnya. Seorang pengemudi taksi kemudian menawarkan taksi yang sistemnya dibuat serupa mobil angkutan, dia telah menemukan 2 penumpang dan untuk dapat melanjutkan perjalanan, dia ingin mendapatkan dua penumpang lagi, sekaligus juga beliau berjanji akan mengantar kami ke hostel yang dimaksud. Kami yang sudah cukup kebingungan pun akhirnya mengiyakan tawaran supir tersebut, dengan bayaran 50 NTD/orang.

Didalam taksi tersebut, bapak pengemudi taksi terus menanyakan alamat yang kami tuju, kami tentu saja tidak tahu cara mengatakannya dalam Bahasa Mandarin dan kami menjadi bingung bagaimana cara mengatakannya, kami pun mendapatkan terjemahannya di Google (Terima kasih Google, :)). Dan yang lebih beruntungnya lagi, 2 penumpang lain yang masih muda juga membantu kami mengadakan komunikasi dengan bapak pengemudi. Satu hal yang paling menggelikan adalah ketika sang bapak bertanya bahwa pastinya kami berdua adalah muslim, tentu saja Kak Herta mengatakan tidak, hanya aku yang muslim, sedangkan dia sendiri adalah kristian. Bapak itu nampak terkejut dan kembali menegaskan bagaimana bisa hal itu terjadi, bukankah Kak Herta juga orang Indonesia? Mengapa dia beragama Kristen? Kami pun tertawa dan tidak tahu bagaimana menjelaskan secara detail, kami hanya menjelaskan secara umum bahwa di Indonesia itu terdapat banyak agama, tidak hanya agama Islam, walaupun mayoritas adalah muslim. Perjalanan pun terasa makin berwarna.  

Sesampainya di hostel, kami mendapati kamar yang teduh dan nyaman. Dari jendela kami bisa melihat pemandangan luar yang terpadu antara sebuah pulau di kejauhan dengan laut yang membiru, suasana kala itu hampir petang hingga semburat-semburat oranye tampak menghiasi awan berlatarkan langit biru tua. Demi melihat pemandangan itu, kami pun bergegas keluar untuk merasakan pemandangan yang lebih nyata lagi sekaligus juga mencari makan malam. 

Kamar hostel yang teduh, lantainya kayu sehingga lebih nyaman
Benarlah, didaerah belakang hotel terdapat sebuah kuil, dan didepannya terbentang pinggiran jurang yang menuju laut. Pemandangan pulau yang tadi kami amati dari jendela makin terpampang dengan jelasnya. 
Pemandangan dari tepi jurang
Tepi jurang yang dipagari
Kuil di daerah belakang hostel
Setelah puas berfoto-foto, kami pun mulai menjelajah mencari jalan menuju old street yang menjual berbagai makanan. Dan ternyata hal tersebut cukup sulit mengingat jalanan yang harus kami lalui adalah jalanan berbukit dengan tangga yang diselingi rumah-rumah disana-sini. Walaupun pemilik hostel telah berbaik hati dengan kami memberi petunjuk, tetapi sepertinya kemampuanku yang buruk dalam navigasi lebih mendominasi suasana hingga kami harus berkeliling mencari jalan menuju old street tersebut.
Pemukiman di perbukitan

Jalanan yang harus dilalui memang cukup mendaki
Akhirnya setelah perjalanan yang cukup melelahkan, kami mendapati jalan yang menunjukkan tanda-tanda kehadiran old street. Ada banyak turis yang sedang menikmati daerah itu, berdasarkan bahasa yang dipergunakan, kami pun dapat mengidentifikasi bahwa mereka berasal dari Jepang.

Salah satu penampakan jalan di Jiufen Old Street
Seperti kebanyakan old street yang lainnya, Jiufen old street juga dipenuhi dengan berbagai toko aksesoris dan toko makanan tradisional di kanan-kirinya. Aku tentu saja tak berani singgah di kedai makanan tradisional karena takut akan kandungan minyak babi yang mungkin terdapat didalamnya, jadi aku hanya dapat melihat-lihat saja. Lagipula tak satu pun dari kami yang dapat berbahasa Mandarin. Sedangkan Kak Herta juga sepertinya ragu membeli karena takut rasanya tidak sesuai dengan lidah. Harga makanan dan aksesoris di daerah ini ternyata tergolong mahal. Aku yang hanya bisa makan makanan vegetarian atau seafood pun cukup kesusahan mencari tempat makan yang sesuai karena tidak mengetahui kandungan makanan tersebut dan tidak dapat membaca karakter Mandarin. Walaupun akhirnya kami mendapatkan tempat makan, namun harganya sangat mahal dan rasanya juga asin (mungkin karena turis yang datang kebanyakan dari Jepang). Selidik punya selidik ternyata makanan yang terkenal dari Jiufen ini adalah Taro Rice Ball. Namun, kami sama sekali tidak mencicipinya. Selain itu, hal lain yang juga terkenal dari Jiufen ini adalah rumah teh-nya. Untuk rumah teh ini, kami hanya mampir di bagian luarnya saja tanpa masuk ke dalam (mahal, :( ...)

Setelah merasa kenyang, kami pun segera melanjutkan perjalanan untuk mencari angle yang paling bagus untuk berfoto. Jalanan menaik dan menurun disertai daerah bertangga kami tempuh hingga kami sampai pada suatu pinggiran jurang yang sudah dipagari dan dipenuhi orang-orang yang ingin melihat sunset dan berfoto ria. Dari jauh kelihatan pulau-pulau serupa goretan-goretan hitam dengan cahaya lampu yang menawan, latar yang berupa langit biru dan laut yang juga membiru mulai menggelap hingga cahaya lampu dari rumah penduduk semakin tampak. Dari sudut lain, tampak sebuah rumah besar berarsitektur Cina yang bermandikan cahaya lampu berdiri dengan pongahnya, membelakangi sebuah gunung yang tampak menghitam diantara birunya langit. Sungguh pemandangan yang indah. Kami pun merasakan keindahan ini selama beberapa menit.

Menikmati semburat oranye di kejauhan

Dari sudut sini, bagus juga kalau difoto, :)

Cahaya lampu dari pemukiman penduduk menghiasi malam

Hasil potret dari kamera yang berbeda

Malam yang semakin gelap

Rumah teh yang terkenal dari kejauhan
Malam pun mulai datang hingga kegelapan mulai merayapi alam sekitar, kami pun segera beranjak pulang. Kaki telah terasa pegal, namun hati juga terasa puas menikmati ciptaan Sang Maha Kuasa. Kali ini, kami mengandalkan kemampuan navigasi Kak Herta karena Google Maps sepertinya juga telah letih dan begitu pun aku (kemampuan navigasiku sangat buruk). Malam ini kami habiskan dengan tenang di kamar hostel yang nyaman.

Bagian depan Kite Homestay dikala malam

Bagi teman-teman yang ingin pergi ke Jiufen, berikut ini caranya yang kudapat dari situs Guidetotaipei:

  • Dari Taipei Main Station (台北車站), ambil kereta api ke utara menuju Ruifang Station. Setelah keluar dari stasiun dan menghadap Wellcome supermarket, ambil arah kiri dan berjalan 200 meter ke arah Mingdeng Road. Disebelah kantor polisi terdapat stasiun bus (bernama Local Residents Plaza, 區民廣場) dengan bus 827 and 788 menuju Jiufen, sedangkan stasiun bus yang bersebrangan dengan kantor polisi menuju Taipei. Bus 825 hanya untuk akhir pekan. Perjalanan sekitar 15 menit dengan ongkos NT$15. 
  • Dari MRT Zhongxiao Fuxing (忠孝復興), Line coklat 1 dan Line biru 5 interchange, keluar dari pintu kelua1 ( Exit) 1 dan ambil bus 1062 ke arah Keelung (Keelung Bus) ke Jinguashi, Jiufen. Perjalanan sekitar 1 jam dengan ongkos NT$102. Bus 788 juga tersedia dari Keelung.
Selamat berwisata ke Jiufen, :). Our next destination is Gold Museum!


Comments