Oleh: Siti Utari Rahayu
Saat itu pukul 18.30 WIB, aku berdiri di balkon
kamarku yang berada di lantai dua. Suasana kota Medan begitu hangat, langit di
ujung barat memerah keemasan. Suara adzan kudengar
bertalu-talu, lalu dari jalan depan rumahku kulihat Imran, tetanggaku berpeci
dan bersarung, sepertinya dia hendak pergi ke mesjid. Demi melihatnya, hatiku
tergerak, aku ingin ikut dengannya, tetapi ada segumpal perasaan di sudut lain hatiku
yang menahanku, hingga aku hanya terpaku diam, berdiri di depan balkon hingga
langit berubah kelam.
Aku masuk ke kamar ketika udara telah berubah
menjadi dingin. Kulihat kembali surat yang telah kubuat sejak sore tadi, surat
itu hendak kuberikan pada temanku sekampusku, Emir. Walaupun aku baru
mengenalnya dua bulan, tetapi perasaanku mengatakan bahwa dia adalah orang baik
yang dapat kujadikan sahabat. Ya,
sahabat dimana aku dapat mempercayakan segala isi hatiku padanya, sahabat
tempatku berbagi suka dan duka. Kenapa aku begitu yakin padanya? Entahlah, aku
tak tahu pasti, mungkin karena dialah orang yang selalu bersamaku saat untuk
pertama kalinya aku merasakan kehidupan sebagai mahasiswa dua bulan yang lalu.
Kubolak-balik
suratku itu, surat yang panjang karena memenuhi tiga lembar kertas ukuran A4,
dan sengaja pula kuketik komputer dengan jenis tulisan menyerupai tulisan
tangan. Kubaca kembali isi suratku itu, beginilah isinya,
Dear
sahabatku,
Melalui surat ini, aku
ingin menceritakan kisah hidupku kepadamu. Aku tahu kamu pasti berpikir bahwa
ini adalah suatu hal yang ganjil. Tetapi, aku hanya berharap kamu mau
menghayatinya, mungkin suatu saat ceritaku ini berguna pula buatmu. Dan semua
ini kulakukan karena aku menganggapmu sebagai sahabat. Kamu juga pasti
bertanya-tanya dalam hati, kenapa aku harus menuliskannya melalui sebuah surat ? Kenapa aku tidak
menceritakannya langsung padamu? Atau melalui telepon saja? Jawabannya karena
aku telah berusaha menghilangkan segala ingatan tentang kisah hidupku ini, tapi
kejadian-kejadian itu tak bisa hilang sepenuhnya. Dan sekarang aku berubah
pikiran, aku ingin menceritakannya
secara runtun, maka perlu waktu bagiku buat menyusun ingatan-ingatan itu dan
hal itu tentunya membutuhkan waktu yang lama buat menceritakannya secara
langsung.
Baiklah, akan aku ceritakan saja. Aku dibesarkan dalam keadaan kaya dan tanpa
kekurangan dengan kedua orang tua yang selalu menyayangiku, dan aku terbiasa
hidup senang dan berfoya-foya, bayangkan saja, aku sudah merokok dari kelas 2 SMP dan
kesenanganku adalah bermain Playstation hingga larut malam. Orang tuaku sudah
berusaha memarahiku tetapi aku masih belum jera. Anehnya, mereka tak pernah
memberiku hukuman, mungkin karena aku adalah anak semata wayangnya, begitulah
pikiranku saat itu.
Pada saat aku berada di jenjang SMA, aku mulai mengenal
cinta dan mulai berpacaran. Bagiku, bergenggaman tangan, berciuman dan
berpelukan dengan wanita adalah hal yang biasa. Hingga di suatu sore yang indah,
aku merayakan kelulusanku dengan pacar baruku yang masih duduk di kelas 1 SMA,
dan saat itu gejolak perasaanku yang tak karuan mendorongku untuk mencium pipinya,
padahal kami tengah berada di ruang tamu rumahku. Kejadian itu pun dilihat oleh
ayahku, dan seketika itu pula wajahnya berubah merah padam, dia langsung
menyuruh pacarku untuk pulang, dan aku ditariknya masuk ke kamar. Baru kali ini
aku melihat ayahku benar-benar marah, memang baru kali ini aku ketahuan mencium
seorang wanita. Lalu, ibuku datang dan menangis, ayahku terus menggempurku
dengan hardikan dan kata-kata nasehat yang terdengar sangat kasar di telingaku.
Aku hanya bisa diam, aku tak mengerti kenapa tindakanku dianggap sangat jahat,
bukankah mencium pipi itu adalah hal yang biasa? Bahkan dipertontonkan di
televisi. Malamnya aku termenung memikirkan kejadian sore itu.
Saat pagi tiba, ayahku menyuruhku
untuk datang ke rumah sakit jiwa di Jalan Jamin Ginting. Aku katakan bahwa aku tak
tahu dimana letak rumah sakit itu, lalu ayah mengatakan bahwa aku akan ditemani
oleh Bang Agung, sepupuku, dengan mengendarai mobilnya. Aku tak
mengerti mengapa ayah menyuruhku ke tempat itu, dalam hati aku curiga kalau
ayah menganggapku gila.
Sesampainya di sana, Bang Agung langsung
menjumpai seorang suster yang tampaknya telah lama dikenalnya, mereka berbicara
sebentar, lalu dia mengajakku ke sebuah kamar. Melalui jendela kamar itu, aku melihat seorang wanita tua duduk
termenung di depan sebuah meja putih, lalu saat suster itu membukakan pintu
kamar, wanita itu menoleh dan berlari ke arah pintu,“ Jaka?” Tanyanya kepada
suster dengan wajah berseri. Suster tersebut menggeleng dan wanita tua itu
kembali murung, lalu dia menatapku. Aku terkesiap, jantungku seperti tersengat
aliran listrik begitu melihat matanya, ada perasaan ganjil yang tak dapat
kujelaskan dengan kata-kata, seperti de javu terhadap wanita tua itu.
Lalu, wanita tua itu menangis sejadi-jadinya, “Jaka!!!Jaka!!!” Begitu teriaknya. Suster lalu menutup pintunya.
Kami pun beranjak meninggalkan kamar itu. Aku masih bingung dengan
kejadian-kejadian hari itu, rumah sakit jiwa di jalan Jamin Ginting, dan wanita
tua itu, apakah hubungannya denganku? Tetapi, aku diam saja. Aku yakin ayahku
pasti menceritakan hikmahnya nanti.
Saat perjalanan pulang, Bang Agung bertanya,“Abang
dengar Kamu mencium seorang wanita ya? Bagaimana perasaanmu terhadap wanita itu?
Apakah Kamu mencintainya?”. Aku tersenyum singkat dan berkata, “Sebenarnya
ciuman itu adalah ungkapan rasa sayangku terhadapnya, aku heran kenapa ayah
marah padaku, bukankah itu hal yang biasa.”. Bang agung lalu berkata, “Begitu
ya, Kalau kau benar-benar sayang padanya, putuskanlah wanita itu. Lalu, saat kamu
sudah dewasa dan berpenghasilan, lamarlah dia. Mungkin bagimu pendapat Abang
ini terdengar aneh, ya, itu wajar. Kamu tahu apa artinya cinta?”. Aku pun
menjawabnya,“Cinta adalah rasa saling memiliki dan berbagi antara dua insan.”.
“Apakah berciuman, berpelukan adalah bagian dari cinta?Ataukah dia bagian dari
seks?Apakah mencintai harus berarti mencintai seorang wanita saja?”. Aku diam,
aku belum berpikir sejauh itu, bagiku mencintai adalah ketika aku menyukai
seseorang dan ingin memilikinya, dalam artian aku dapat berdekatan dengannya,
memandangi wajah dan tubuhnya, dan berbagi cerita dengannya. Lalu Bang Agung
melanjutkan, “Mencintai itu haruslah murni, jauh dari sifat kedangingan dan
nafsu. Berciuman, bepelukan dan segala aktifitas seks bisa jadi adalah bagian
dari cinta, tapi jika wanita tersebut adalah milik kita yang sah, atau sudah
menikah. Jika kamu merasa memilikinya dan melakukan apapun yang kamu mau
terhadapnya sebelum menikah, berarti kamu telah egois. Kamu harus dapat
membedakan antara cinta dan nafsu”. Aku tak hendak membantahnya, walaupun aku
ingin. Bagaimanapun aku bukanlah anak kecil lagi, yang selalu dianggap tidak
tahu apa-apa. Aku pun mengalihkan pembicaraan dengan bertanya untuk apa aku dibawa
ke rumah sakit jiwa ini. Bang Agung tersenyum lalu menjelaskan perihal wanita
tua yang kami kunjungi tadi. Beginilah ceritanya:
Wanita tua tersebut menjadi gila karena
ditinggal oleh pacarnya, namanya Jaka. Wanita tua itu baru berumur 17 tahun
saat berpacaran dengan Jaka yang saat itu berumur 20 tahun, orang-orang
mengetahui bahwa mereka baru berpacaran selama dua bulan, selama dua bulan itu
Jaka sering sekali datang ke rumah wanita itu, dan sebulan kemudian wanita itu
didapati telah hamil dua bulan. Tentu saja orang tua wanita itu sangat marah
dan meminta pertanggungjawaban Jaka, Jaka mengiyakan. Namun, dia tak pernah
kembali. Mereka sudah berupaya mencari Jaka, tetapi dia sudah tak berada di
kota Medan, teman-temannya mengatakan bahwa dia sudah pindah ke Pekanbaru.
Semenjak itu wanita itu selalu murung dan tiap pagi dia keluar rumah, menuju
simpang gang, disana dia menunggu Jaka, lalu saat siang menjelang dia pulang ke
rumah, kejadian itu berlangsung selama empat hari berturut-turut, hingga
keluarganya tak tahan menanggung malu dan memasukkannya ke rumah sakit jiwa. “Bagaimana
dengan anak yang dikandungnya?” Tanyaku saat itu. “Dia lahir dengan selamat dan
diasuh oleh bude-nya yang kebetulan tak mempunyai anak.
Sekarang kamu mengerti kan bahwa sebenarnya Jaka tidaklah mencintai wanita itu,
dan segala tindakannya, berciuman, berpelukan dengan wanita itu bukanlah cinta.”
Aku diam saja.
Sekali lagi aku berusaha mengalihkan
pembicaraan dengan bertanya,“ Lalu, bagaimana anak itu sekarang? Tahukah dia
bahwa ibunya adalah orang gila? Tahukan dia kalau dia adalah anak haram?”.
“Menurutmu? Bagaimana kalau anak itu adalah kamu?”. Aku diam, tapi hatiku
was-was, benarkah aku adalah anak wanita tua itu? Kalau tidak, lalu untuk apa
aku dihukum untuk menjenguk wanita tua itu. Mungkin memang akulah anak itu. Lalu
kudesak Bang Agung untuk mengatakannya, dia tak mau mengatakannya. Tetapi
setelah kupaksa berkali-kali, barulah dia mengatakan yang sebenarnya, akulah
anak wanita tua itu.
Saat itu aku merasa hancur sehancur-hancurnya,
aku menangis, untuk pertama kalinya. Bang Agung menyabar-nyabarkanku. Aku tak
tahu harus bagaimana, aku merasa sangat bersalah terhadap orang tuaku yang
ternyata bukan orang tua kandungku atas semua tindakanku selama ini. Aku merasa
bahwa aku lebih hina dari Malin Kundang dan lebih patut dikutuk menjadi batu.
Sesampainya di rumah, aku menangis sejadi-jadinya, dan bersimpuh di kaki ayah
dan ibuku yang ternyata adalah pade dan bude-ku. Pade-ku menasehatiku
dengan lembut dan memberi penjelasan bahwa mereka sangat sayang padaku dan mau
memaafkanku. Sebenarnya pade belum sanggup untuk mengatakan yang sebenarnya
kepadaku, tetapi dia tak ingin aku mengulangi kesalahan ibuku dan menghamili
anak orang. Sejak itu aku menjadi pendiam dan berusaha berubah. Aku mulai
memikirkan kehidupan ini, aku mulai menonton berita yang dulu selalu kubenci,
mendengarkan acara-acara motivasi hidup, kaset-kaset Playstation kuganti dengan kaset film-film kehidupan
yang bermutu, Tetapi, dahagaku tak pernah terpuaskan, seperti kata Letto,“Ada
lubang dalam hati”. Apa mungkin karena aku anak haram yang tak tahu diri?
Makanya aku diam saja ketika kepala dan tubuhku dipukuli senior-senior kampus,
bagiku itu adalah bagian dari hukuman terhadap diriku.
Sahabat, demikianlah kisah hidupku. Sekarang
ini aku tak tahu untuk apa aku hidup, aku hanya berjalan mengikuti alur waktu
dan segala yang kulakukan hanyalah untuk membalas budi bude dan pade-ku, tapi
aku merasa sangat kosong, hampa. Dan diam-diam aku mulai membenci wanita tua
itu dan Jaka, orang tua kandungku. Akibat perbuatan mereka-lah aku menjadi
sengsara. Untuk apa aku dilahirkan? Aku sangat menginginkan nasehatmu,
tolonglah aku.
Angga
Rahmat
“Pip..Pip..Pip...,”
tiba-tiba handphone-ku berbunyi, tanda
bahwa ada SMS masuk. Aku mengambilnya dari atas tempat tidurku dan membaca
isinya.
“Angga,
aku pamit pulang ke Bandung, ayahku menyuruhku untuk kuliah di sana saja
setelah aku menceritakan kejadian kekerasan pada saat Ospek kemarin. Jaga
dirimu baik-baik kawan. Aku akan selalu mengingatmu. Emir.”
Hatiku
sangat kecewa setelah membaca sms dari Emir tersebut. Betapa malangnya nasibku,
aku merasa bahwa tak ada jalan lagi buatku untuk mencapai bahagia. Bagaimana
tidak, belum berakhir kekecewaanku yang pertama, kini di saat aku mulai bangkit
dan mengumpulkan sisa-sisa semangatku, kekecewaan yang kedua datang lagi. Emir
pasti sedang dilanda perasaan kecewa juga. Mana mungkin aku menceritakan
kekecewaanku pada orang yang sedang kecewa. Untuk beberapa saat aku hanya
terdiam dan pandanganku mengawang.
“Tok...Tok...Tok...,”
pintu kamarku diketok, lalu diikuti panggilan bude-ku, “Angga, ayo makan!”. Kulihat jam dindingku, pukul 19.15
WIB. Aku pun segera bangkit dan membuka pintu kamar, bude-ku menyambut dengan senyum hangat, aku juga tersenyum dengan
senyuman yang hangat, tapi kosong. Kami makan malam dengan kehangatan yang
sangat terasa, aku merasa bahwa bude
dan pade-ku adalah malaikat penolong
di kehidupanku yang sudah tak karuan ini. Tetapi hatiku masih tetap merasa
bahwa ada sesuatu yang hilang dari diriku hingga aku selalu merasa kotor
sekaligus kosong.
Selepas
makan malam, aku mencek akun jejaring sosial milikku melalui Notebook,
aku ingin mencari teman-teman yang senasib dengan diriku. Tetapi, bagaimakah
caranya? Haruskan kukirim suratku ini ke semua temanku dan membiarkan beberapa
atau salah satu dari mereka akhirnya mengakui bahwa nasibnya juga serupa
denganku? Tetapi, bila hal ini kulakukan, bisa-bisa aku malah dianggap gila dan
tak ada yang mau berteman denganku. Kuperhatikan semua status teman-temanku, ah,
semuanya berisi kesenangan hidup: Pacaran, melihat konser band kesayangan, makan
di restoran ternama, jalan-jalan ke mall. Aku menjadi bosan dan muak, dulu aku
memang menyukai kehidupan sebagai itu, tetapi sekarang kutahu bahwa kebahagian
sebagai itu bukanlah kebahagian sejati, kutahu hal itu karena aku telah
merasakannya sendiri. Aku pun keluar dari akun tersebut. Mana mungkin aku
meminta petunjuk hidup pada orang-orang yang juga membutuhkan petunjuk hidup.
Aku mulai membuka email. Pada email masuk aku membaca ada pengumuman
lomba menulis surat
untuk Presiden dari suatu situs perlombaan, aku memang suka mendaftarkan
emailku pada berbagai situs. Pengumuman
itu mengatakan bahwa semua surat masuk akan
dibaca oleh Presiden Indonesia .
Lalu aku berpikir bahwa sebaiknya aku mengirimkan suratku itu kepada Presiden
saja, bukankah presiden itu adalah kepala negara yang harus menyelesaikan semua
permasalahan bangsa? Dan bukankah permasalahku ini menyiratkan suatu masalah
yang urgen, masalah kemerosotan moral bangsa? Aku yakin bahwa di Indonesia ini
bukan hanya aku, Angga Rahmat yang mengalami kejadian serupa itu, pasti ada
banyak Angga-Angga yang lain. Ya. Kutahu itu dari berita-berita di televisi
yang sering mengabarkan tentang anak bayi yang dibuang orang tuanya, praktek
dokter penggugur kandungan, Si A yang diperkosa si B yang baru dikenalnya
melalui jejaring sosial, dan banyak lagi. Sepertinya cukup tepat bila surat ini kualamatkan kepada Presiden Indonesia . Tetapi, bukankah saat ini Presiden Indonesia sedang sibuk dengan urusan diplomasi
dengan Malaysia ?
Belum lagi kasus kebocoran gas, isu terorisme, kemiskinan yang tak kunjung
berkurang, dan juga pendidikan yang menyedihkan. Apakah masalahku ini akan ditanggapi juga? Jika
pun ditanggapi maka pastinya urusan akan diserahkan oleh Menteri ini lalu ke
Departemen itu kemudian melewati administrasi yang panjang dan akhirnya
penyelesaian masalah tersebut tidak akan sampai kepadaku. Juga mungkin kepada
Angga-Angga lain. Lalu, kepada siapakah harus kualamatkan surat itu?
Adakah psikolog
atau psikiater yang dapat membantuku melupakan semua masalahku ini hingga aku
dapat memulai kehidupanku dengan normal? Adakah alat yang benar-benar dapat
membantu seorang manusia melupakan satu sisi gelap hidupnya seperti yang pernah
kulihat pada sebuah film? Jika ada, maka haruskah aku mencarinya? Dan jika
demikian maka suratku itu menjadi surat mati, seperti kata The Rasmus dalam sampul
albumnya, Dead Letter, “A dead letter is
a letter that has never been delivered because the person to whom it was
written cannot be found, and it also cannot be returned to the person who wrote
it.” Itu sama saja artinya dengan aku membunuh bagian jiwaku sendiri. Ah,
tidak, aku tak mau hal itu terjadi.
Malamnya aku tak bisa tidur nyenyak, tidak
pula bisa terjaga sepenuhnya, mataku kupejamkan dan badanku kubuat sesantai-santainya.
Pada mulanya aku merasa berada antara ada dan tiada, lalu tiba-tiba aku berada
dalam runtunan kejadian-kejadian yang menghancurkan hidupku, aku melakukan kembali
tindakan-tindakan dosa yang menyakitkan bude
dan pade-ku. Aku menangis, aku melihat
semua orang mencercaku, mengataiku anak haram yang tak tahu diri. Lalu,
anak-anak haram yang senasib denganku berdatangan dari seluruh penjuru, mereka
berkumpul di dekatku, menangis dan meraung-raung. Tiba-tiba, aku terjaga, badanku berkeringat,
bermimpikah aku tadi? Ataukah kenyataan? Kulihat jam dinding, pukul 4.45 WIB. Ah,
aku memang bermimpi. Aku pun bangkit menuju balkon, aku ingin menghirup udara
pagi.
Alam
masih gelap, tetapi udara terasa begitu segar. Kupejamkan mata dan kurasakan
angin dingin menampar-nampar tubuhku. Setelah 5 menit merasakan sentuhan angin,
kubuka mataku lalu kulihat di jalan depan rumahku, Imran berpeci dan bersarung,
hendak ke mesjid. Tanpa kusadari sepenuhnya, kupanggil dia, “Imran!!”. Dia
menoleh dan tersenyum, lalu aku berjalan ke luar kamar, hendak menghampirinya.
Kulakukan dengan pelan-pelan agar tidak mengganggu pade dan bude.
“Ayo,
mau ikut shalat?” ajaknya saat aku membuka pintu gerbang.
“Boleh?”
Tanyaku kembali.
Dia
tersenyum dan bertanya kembali, “Kamu islam kan?”
Aku
tertawa, betapa bodohnya aku menanyakan hal itu, aku beragama islam dan setiap
orang islam memang harus melaksanakan shalat. Lalu aku pun memintanya untuk menunggu sebentar, aku
hendak berwudhu dan mengambil sarung. Lima menit kemudian kami pun pergi ke
mesjid.
Untungnya
hampir setiap minggu aku ikut shalat jumat bersama pade-ku sehingga gerakan shalat masih kuingat, walaupun aku tak
pernah shalat wajib lima waktu, sepertinya baru kali ini aku shalat subuh
kembali setelah 6 tahun yang lalu. Karena selepas lulus SD aku tak mengaji sore
lagi dan shalat lima waktu pun kutinggalkan.
Selepas
shalat, Imran mengajakku pulang, katanya hari ini tak ada ceramah subuh.
Seketika itu pula aku berpikir bahwa sebaiknya suratku itu aku berikan saja
kepada Imran, mungkin saja dia bisa membantuku, memberiku nasehat yang dapat
menuntunku ke jalan yang benar dan hidup bahagia. Apalagi dia kuliah di IAIN
(Institut Agama Islam Negri) Medan. Maka, sesampainya di depan rumahku, aku
memintanya untuk menunggu sebentar di teras rumah, wajahnya menampakkan tanda
kebingungan tetapi untungnya dia mengangguk dan mengikutiku masuk ke halaman
rumah pade-ku. Dia duduk di teras
rumah dan aku masuk mengambil surat itu. Satu menit kemudian aku keluar membawa
surat itu dan menyerahkannya pada Imran, dia bingung dan bertanya, “Apa ini?”
“Itu
surat mengenai kisah hidupku. Aku mohon bacalah. Nanti setelah kamu baca pasti kamu akan mengerti. Sebenarnya aku hendak memberikan
surat itu kepada teman sekampusku, tetapi dia sudah pulang ke Bandung karena
tak tahan dengan kekerasan yang dialaminya saat Ospek.” jawabku dengan wajah
murung.
Mungkin
karena dia iba melihat wajahku yang sangat tak berseri itu, tanpa banyak
bertanya lagi dia pun mengangguk dan berkata, “Kalau begitu, Aku pulang dulu
ya, besok kita shalat subuh bersama lagi ya, surat ini akan kita bicarakan
besok. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikumsalam!” Jawabku sambil
tersenyum, hatiku terasa lega. Akhirnya surat itu dapat kualamatkan juga
walaupun pada orang yang tak disangka-sangka.
Besoknya
selepas shalat subuh, Imran mengajakku duduk-duduk sebentar di teras mesjid
sambil membicarakan suratku itu.
“Sebelumnya
aku turut bersedih atas kejadian yang menimpamu, tetapi, anggaplah itu suatu
bunga kehidupan. Aku tahu pasti berat menjadi dirimu, dan aku tak dapat berbuat
banyak, karena yang kamu butuhkan bukan hanya sekedar nasehat saja. Lagi pula,
aku baru mulai belajar tentang agama dan kehidupan, jadi ilmuku masih mentah.
Bagaimana kalau kamu berkonsultasi dengan salah satu dosenku. Dia orang yang
baik dan dia menamatkan S3-nya pada bidang psikologi. Dia pernah berkata bahwa
jika kami hendak berkonsultasi tetapi malu mengatakannya secara langsung, maka
kami bisa berkonsultasi kepadanya melalui surat elektronik dan chatting.
Bagaimana?”
Aku
mengangguk saja dan Imran pun memberikan alamat email dosennya, namanya Pak
Darwis. Dan sorenya aku segera mengirimkan suratku itu melalui email, selain surat
itu kutambahkan pula penjelasan bahwa aku telah mencari-cari orang untuk
membaca surat itu dan menolongku, dari teman sekampusku sampai Presiden
Indonesia, dan akhirnya kuberikan pada Imran yang menyuruhku berkonsultasi
dengan Pak Darwis. Pengiriman email itu kulakukan sambil browsing tugas kuliah,
emailku sengaja tak kututup dan tak kusangka-sangka Pak Darwis langsung
membalasnya setelah sekitar 15 menit berlalu. Isinya, “Bapak telah membaca
surat Nak Angga, dan tak lain yang dapat Nak Angga lakukan hanyalah berdoa,
memohon kepada Tuhan untuk mengampuni segala dosa dan kesalahan. Ingatlah bahwa
tak ada yang dapat mengampuni dan memberikan ketenangan jiwa selain Tuhan. Dan
tak ada pula yang dapat menjadi perantara bagi seorang hamba dalam bermohon
kepada Tuhan selain hamba itu sendiri dengan Tuhan. Wajar jika Nak Angga tak
menemukan seorang manusia pun yang dapat menyelesaikan permasalahan Nak Angga
karena manusia adalah makhluk terbatas, maka mintalah pada Tuhan yang Maha
Pencipta dan Maha Memiliki. Bertobatlah kepada Tuhan
dan kembali ke ajaran agama. Tahukah Nak Angga bahwa Tuhan sebenarnya telah
membalas surat-surat permohonan seluruh hambanya sebelum hambanya meminta?
Tuhan sebenarnya telah mengirimkan suratnya kepada seluruh umat manusia sebagai
pedoman hidup melalui rasul-Nya, surat
itu adalah Kitab Suci. Maka, bukalah dan temukan jawaban-jawaban hidupmu,
ingatlah jangan malu untuk berdoa dan bermohon pada Tuhan, Tuhan itu Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Aku terpana membaca
balasan suratku itu, bukan karena kata-kata Pak Darwis, tetapi karena aku baru
tersadarkan bahwa mengapakah selama ini aku melupakan Tuhan. Bagiku selama ini
shalat jumat, mengaji adalah suatu kegiatan biasa yang tidak ada hubungannya
dengan kehidupanku. Makanya selama ini aku selalu mencari penyelesaian
permasalahanku pada makhluk yang terbatas, dan selalu merasa dahaga. Kuperhatikan
lagi surat balasan Pak Darwis itu, dari
kata-katanya kuyakin dia belum tahu bahwa aku beragama islam, maka agar lebih konkret,
kubalas surat
itu, “Saya islam.”
Langsung kucari
terjamahan Al-Qur’an di lemari buku pade-ku.
Al-Qur’an itu sudah berdebu, kubaca surah Al-Fatihah beserta terjemahannya dan
aku menagis bahagia.
Medan,
September 2010
Comments
Post a Comment