Oleh: Siti Utari Rahayu
Kesukaanku untuk membaca buku muncul kembali
ketika berdiskusi dengan teman sekampusku yang berasal dari Vietnam. Dia
mengatakan bahwa dengan membaca buku, buah pemikiran kita akan berubah tanpa
kita sadari, walaupun terkadang kita lupa beberapa hal penting yang terdapat
dalam buku itu. Aku pun tersadar, selama berada di Taiwan, aku memang jadi
jarang membaca buku, terutama buku sastra Indonesia akibat ketidaktersediaan
buku tersebut.
Namun, aku pun mulai membaca buku-buku sastra yang berbahasa Inggris yang
dapat kupinjam di perpustakaan sekolah. Sampai akhirnya temanku dari
universitas lain meminjamkanku buku-buku karangan Dee Lestari, yaitu Filosofi
Kopi dan Gelombang. Temanku ini adalah salah satu penggemar karya-karya Dee
Lestari. Aku, yang tak pernah membaca buku karangan Dee Lestari pun dengan
semangat membaca dan mencoba mengahayati makna-makna yang tersirat pada
berbagai karya-karya nya. Pada buku Filosofi Kopi, aku dapat merasakan
kenyamanan gaya bahasa dan kekayaan imajinasi dari Dee Lestari. Terdapat 18
cerita pendek dan prosa dalam buku ini yang bisa dinikmati. Buku ini juga
merupakan karya sastra terbaik 2006 pilihan majalah Tempo.
Beberapa prosa yang tersaji dalam buku ini secara implisit membongkar suatu
masalah dalam diri yang selama ini tidak kita sadari. Dan, ternyata sesuatu
yang tidak kita sadari itu dapat memotivasi kita untuk hidup lebih baik.
Sebagai contoh, dalam prosanya yang berjudul “ Salju Gurun”, Dee menuliskan,
“Di hamparan gurun yang seragam, jangan lagi menjadi butiran pasir... Di tengah
gurun yang terjebak, jadilah salju yang abadi.... Dan setiap senti gurun akan
terinspirasi karena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski
sendiri, karena kau berbeda...” Bagiku pribadi, tulisan ini menyiratkan seruan
bagi orang-orang untuk melakukan segala sesuatu dengan berbeda dan lebih baik
walaupun pada prosesnya kita bakal menjadi orang yang dianggap ganjil, namun
pada akhirnya keganjilan kita dapat menciptakan kebaikan dalam masyarakat. Satu
prosa lagi yang kusukai begitu juga dengan temanku, yaitu prosa berjudul
“Spasi”. Padanya terdapat hal kecil yang tak pernah terpikirkan olehku tetapi
sebenarnya sangat bermakna, “Seindah apapun huruf terukir, dapatkah ia
dimengerti jika tak ada spasi?... Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada
jarak?” Apa yang ditulis Dee ini benar-benar menggambarkan sesuatu yang terjadi
dalam sebuah hubungan. Aku pun pernah merasa sangat jenuh ketika teman satu
laboratoriumku selalu ingin bersamaku, entah dalam praktikum ataupun pergi ke
supermarket. Hingga terpikirkan olehku memang dalam suatu hubungan kita
memerlukan spasi.
Cerita pendek yang terdapat dalam buku ini juga tak kalah menyenangkan
untuk dibaca. Aku bakal tak dapat menebak akhir dari cerita-ceritanya.
Contohnya dalan cerpen berjudul, “Lara Lana” yang mempunyai akhir yang tak
terduga-duga bagiku hingga aku pun tersenyum dan membalik kembali
lembaran-lembaran awal ceritanya untuk memastikan kembali beberapa keganjilan
yang membuatku mengerenyutkan kening saat membacanya. Cerita lain berjudul
“Sikat Gigi” yang sangat menyentuh dan benar-benar mewakili perasaan
orang-orang yang sedang patah hati dimana kegiatan menyikat gigi ternyata dapat
menjadi momen yang sangat berarti walaupun hanya berlangsung beberapa menit.
Cerita yang absurd dan penuh imajinasi yang juga sangat kunikmati adalah cerita
yang berjudul, “Rico de Coro” yang penuh dengan imajinasi yang sangat seru.
Selain judul-judul yang kusebutkan di atas, masih ada banyak lagi cerita
dan prosa yang pastinya dapat dinikmati. Jadi, bagi para penggemar buku yang
masih belum pernah mencicipi buku ini, aku sangat menganjurkan untuk dapat
dengan segera menikmatinya. Dan sekarang aku masih menikmati buku Dee lain yang
berjudul “Gelombang”.
Taichung, April 2016
Taichung, April 2016
nice article bu tari.. :)
ReplyDelete